Jumat, 29 Mei 2009

Manasik, Modal Haji Mabrur

Oleh H M Hoesni Thamrin

Sebenarnya tidaklah terlalu tepat benar kalau dikatakan bahwa kita ini termasuk suka latah, tapi kalau sekedar ikut-ikutan ya, memang benar. Ikut-ikutan yang baik memang positif apalagi bila hal itu merupakan nilai tambah.
Kalau turis -- baik lokal maupun dari manca negara -- datang ke pulau Bali atau ke Yogya maka makna ikut-ikutan yang jelas terlihat di sini adalah bagaimana mereka harus menyesuaikan, memakai pakaian praktis berupa kaos T-Shirt berwarna-warni bergambar tanah Lot, Sanur ataupun Kuta dengan celana tanggung atau bila di Yogya dengan Malioboro dan kaos T-Shirt dagadunya.
Nah, bagaimana dengan jemaah haji kita yang setiap tahunnya membanjiri kota Mekkah maupun Medinah. Adaptasi berbusana dan berprilaku juga cepat sekali penularannya. Mungkin ini sebagai manifestasi rasa keimanan bahwa dengan menyesuaikan bentuk dan cara berpakaian berarti juga menunjukkan ketaqwaan. Sehari atau dua hari setelah tiba di Mekkah atau Medinah, biasanya yang segera dibeli adalah sajadah, sorban, kopiah haji atau baju gamis di samping korma, kismis atau kacang Arab. Dan yang tak mungkin ketinggalan pasti dengan busana gaya orang Arab itu adalah mulut komat kamit mengucap zikir dan tanganpun rajin mengotak-atik biji biji tasbih.
Menyaksikan ketekunan jemaah seperti ini benar-benar menimbulkan rasa bangga di hati, dengan harapan nantinya setelah kembali ke tanah air akan menjadi haji yang mabrur, Insya Allah.
Memang akankah demikian ? Masalah taqwa dan keimanan seseorang tidak dapat diukur dari sekedar pakaian dan tasbih, karena semuanya itu akan nampak dalam manifestasi prilaku, ucapan dan perbuatan sehari-hari. Karena begitu usai tawaf wa’da setelah wukuf, melontar, tawaf dan sa’ie, kembali ke banua maka gambaran gaya Arab itupun hilanglah sudah. Jemaah kembali kepada keadaan dan kehidupan semula. Yang tersisa adalah kopiah putih dan sorban yang cuma sewaktu-waktu melingkar di pundak. Tentang tasbih yang dulu setia di tangan mungkin sudah ada yang lupa entah di mana meletakkannya. Naudzubillah.
Menjadi haji yang mabrur ternyata memang sulit, sebab berhaji ke tanah suci bukanlah sekedar berwisata atau shopping atau sekedar mengisi waktu liburan dan memanfaatkan duit berlebih karena usaha banyak mendapat untung, dapat warisan atau karena pertambahan jasa/bunga uang di bank. Mungkin nilai ibadah ini akan berbeda sekali dengan jemaah yang dengan jerih payah berkeringat mengumpul dan menabung uang sedikit demi sedikit untuk bayar ONH-nya.
Pelajaran yang nyata bisa diambil manfaatnya untuk jadi haji yang mabrur berawal dari memasang niat dan puncaknya adalah sewaktu jemaah telah dengan sadar mengenakan pakaian ihram dan melaksanakan rukun haji wukuf di Arafah serta perbuatan wajib haji lainnya. Prilaku saat itu benar-benar harus menunjuk pada mukmin yang saleh, taat, patuh, dalam keadaan suci, loyal dan disiplin melaksanakan ibadah terhadap Allah SWT dan tak terkecuali terhadap sesama serta lingkungannya. Pada saat itu jemaah hendaknya benar-benar menghindari rafats, fusuk dan jidal (berkata kotor, berbantahan, fitnah dan perbuatan asusila serta merugikan lingkungan) yang biasanya merupakan bagian prilaku dari kehidupan sehari-hari sebelum berhaji.
Apakah hal di atas sudah dihayati dan diamalkan sebagaimana mestinya ? Maka adalah sama sekali tidak wajar dan tidak etis kalau selama perjalanan berhaji ini didapati sikap jemaah yang emosional, kasar, tidak toleran, ketidak puasan bahkan omelan dan cacian terhadap sesama maupun terhadap kualitas penyelenggaraannya.
Modal Ibadah
Menurut kenyataannya keadaan seperti itu memang ada dan tak dapat dihindari karena hal ini berkaitan dengan karakteristik dan sangat manusiawi. Untuk membantu mencapai haji mabrur itu seyogiyanya bermula dari "modal" atau "bekal" masing-masing jemaah. Bukan modal uang karena ONH sudah baku sesuai ketentuan pemerintah. Yang maha penting adalah modal ibadahnya, yang bermula dari niat kemudian diikuti dengan bimbingan haji (manasik). Selama ini kadang-kadang manasik masih sepertiternomorduakan karena berbagai kesibukan, padahal disitulah letak kunci untuk jadi haji mabrur.
Sesungguhnya manajemen manasik sudah maksimal diprogramkan oleh Depag bersama aparat dan pembimbingnya, minimal sepuluh kali pertemuan untuk masing-masing regu/kelompok yang anggotanya dipilih sesuai kedekatan dan kesenangan jemaah. Sehabis sepuluh kali pertemuan juga diadakan bimbingan massal semacam general repetisi, kaji ulang bersama oleh semua regu dan rombongan. Tak cuma itu, pengetahuan dan keterampilan jemaah calon haji juga dilengkapi dengan buku bahan bacaan, dialog, peragaan bahkan ada juga yang berinisiatif mengadakan manasik kelompok tersendiri di luar program Depag. Sayangnya tidak semua kesempatan itu dimanfaatkan oleh jemaah calon haji.
Ada semacam peluang yang menimbulkan kemungkinan tidak serius dan melunaknya calon haji mengikuti manasik karena sitiran kalimat yang berbunyi : "Melaksanakan ibadah haji itu yang penting adalah perbuatan tidak cuma bacaan. Apalagi ada yang menambahkan bahwa doanya cukup dengan doa sapu jagat".
Sebenarnya sitiran bimbingan seperti itu tidaklah salah. Tetapi betapa ruginya perjalanan ibadah yang memakan waktu berbulan-bulan itu, penerbangan berpuluh-puluh jam dalam jarak ribuan kilometer, memerlukan biaya puluhan juta rupiah serta pengorbanan kelelahan fisik dan mental yang luar biasa, kok hanya dilakukan dengan perbuatan gerak fisik dalam tawaf, sa’ie, wukuf, melontar, ziarah dan doa sapu jagat itu ?
Dengan diberikannya kemungkinan peluang kemudahan dan keringanan seperti itu membuat orang memilih yang ringan dan mudah. Memang di antara banyak pilihan wajar orang memilih yang ringan dan mudah apalagi dengan pertimbangan keselamatan kalau memang dihadapkan pada kemungkinan mendatangkan bahaya.
Dalam pelaksanaan banyak contoh yang kurang pas dengan ketentuan wajib haji. Contohnya, sangat disayangkan justru pada saat wukuf dan tafakur doa menjelang dan sesudah zuhur justru ada saja jemaah yang enak-enak tiduran, mondar mandir di luar kemah ataupun ramai-ramai makan siang. Jangankan yang tergolong penting seperti berwukuf itu, tatacara memakai ihram saja sepertinya kurang dikuasai. Begitu juga dalam tawaf sudah tidak mengenal arti batal wudhu lagi padahal ada ketentuan mazhabnya. Sementara ada juga yang tidak mengerti makna tawaf wa’da (pamit Baitullah). Setelah pamit justru tiduran lagi di kamar menjelang keberangkatan ke Madinatul Hujaz. Tak cuma itu karena persoalan bayar dam-pun menjadi pembicaraan ramai, karena masing-masing seperti mendapatkan informasi yang berbeda. Nah, siapa yang salah ?
Nanum dalam hal manasik haji ini pemberian materi, contoh dan peragaannya justru menjadi sangat penting. Itulah modal ibadah. Apalagi melaksanakan rukun dan wajib haji ini pada akhirnya tetaplah menjadi perbuatan perorangan. Jangankan rombongan atawa regu, laki istri dan anak bisa terpisah pada saat tawaf, sa’ie, maupun melontar jamrah. Jadi perjuangan melaksanakan ibadah haji sangat individual, sehingga perlu modal ibadah dan pengetahuan rukun, wajib dan tertibnya berhaji itu. Sewaktu-waktu bisa saja hal ini dikonsultasikan kepada Imam Haji Kloter (TPIH), tetapi itupun memerlukan waktu, maka lebih baik mengetahui dan menguasai sendiri pengetahuan berhajinya. Dan kesempatan itu hanya ada pada saat mengikutimanasik. Jadi manasik jangan dipandang hanya sebagai pelengkap, karena kegunaan dan manfaatnya benar-benar mendukung untuk menjadi haji yang mabrur.

updated:
Berita Hari ini