Jumat, 29 Mei 2009

Beberapa Kesalahan yang Sering Terjadi di Musim Haji

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Syariah, Kajian Utama

Perjalanan suci menuju Baitullah membutuhkan bekal yang cukup. Di samping bekal harta, ilmu pun merupakan bekal yang mutlak dibutuhkan. Karena dengan ilmu, seseorang akan terbimbing dalam melakukan ibadah hajinya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan kesalahan, sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah.
Berangkat dari harapan mulia inilah, nampaknya penting sekali untuk diangkat berbagai kesalahan atau bid’ah (hal-hal yang diada-adakan dalam agama) yang sekiranya dapat menghalangi seseorang untuk meraih predikat haji mabrur. Di antara kesalahan-kesalahan itu adalah sebagai berikut:

Beberapa Kesalahan Sebelum Berangkat Haji
1. Mengadakan acara pesta (selamatan) dengan diiringi bacaan doa atau pun shalawat tertentu. Bahkan terkadang dengan iringan musik tertentu. Perbuatan semacam ini tidak ada contohnya dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
2. Mengiringi keberangkatan jamaah haji dengan adzan atau pun musik.
3. Mengharuskan diri berziarah ke kubur sanak-famili dan orang-orang shalih.
4. Keyakinan bahwasanya calon jamaah haji itu selalu diiringi malaikat sepekan sebelum keberangkatannya, sehingga doanya mustajab.
5. Kepergian wanita ke Baitullah tanpa disertai mahramnya. Atau melakukan apa yang diistilahkan dengan ‘persaudaraan nisbi/semu’, yaitu menjadikan seorang jamaah haji pria sebagai mahram bagi si wanita dalam perjalanan hajinya (padahal pria tersebut bukan mahram yang sesungguhnya), yang kemudian dapat bermuamalah sebagaimana layaknya dengan mahramnya sendiri. Demikian pula ‘nikah nisbi/semu’, yaitu dinikahkannya seorang calon jamaah haji wanita (baik sudah bersuami atau belum) dengan calon jamaah haji pria, yang kemudian keduanya dapat bermuamalah sebagaimana layaknya suami-isteri. Tentu, yang demikian ini adalah kemungkaran yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Melakukan perjalanan haji semata-mata bertujuan ingin ziarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Melakukan shalat dua rakaat ketika akan berangkat haji.
8. Bersalaman bahkan berpelukan dengan seseorang yang bukan mahramnya menjelang keberangkatan ke tanah suci.

Beberapa Kesalahan Ketika Berihram dan Bertalbiyah
1. Melewati miqatnya dalam keadaan tidak berihram. Hal ini sering terjadi pada sebagian jamaah haji Indonesia kelompok kedua yang melakukan perjalanan dari tanah air (langsung) menuju Makkah. Mereka tidak berihram ketika melewati miqat (di atas pesawat terbang) dan baru berihram setibanya di Jeddah. Padahal kota Jeddah bukanlah miqat menurut pendapat yang benar.
2. Bertalbiyah bersama-sama dengan dipimpin seseorang di antara mereka.
3. Selalu dalam keadaan menampakkan pundak kanan ketika berihram (idhthiba’), padahal yang demikian itu hanya disunnahkan pada thawaf qudum.
4. Meninggalkan bacaan talbiyah dan menggantinya dengan tahlil dan takbir.

Beberapa Kesalahan Ketika Thawaf
1. Mengharuskan diri untuk mandi sebelum berthawaf.
2. Melafadzkan niat thawaf.
3. Mengangkat kedua tangan saat berisyarat kepada Hajar Aswad, seperti ketika takbiratul ihram dalam shalat.
4. Memulai putaran thawaf sebelum rukun Hajar Aswad.
5. Melakukan shalat tahiyyatul masjid sebelum thawaf.
6. Hanya mengelilingi bangunan Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijr.
7. Melakukan jalan cepat (raml) pada seluruh putaran thawaf, padahal itu hanya dilakukan pada 3 putaran pertama dan itu pun khusus pada thawaf qudum saja.
8. Berdesak-desakan untuk mencium Hajar Aswad, yang terkadang sampai mendzalimi jamaah haji lainnya.
9. Mengusap-usap Hajar Aswad dalam rangka tabarruk (mengais berkah) dan berkeyakinan bahwa yang demikian itu dapat mendatangkan manfaat dan menolak bala.
10. Mencium dan mengusap-usap sebagian sudut Ka’bah atau keseluruhannya. Bahkan terkadang ada yang menarik-narik kiswah (kain penutup Ka’bah) untuk menyobeknya guna dijadikan jimat.
11. Membaca doa/dzikir khusus pada setiap putaran thawaf, karena yang demikian itu tidak ada tuntunannya dari baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
12. Berthawaf dalam keadaan bersedekap.
13. Keyakinan bahwasanya barangsiapa mampu menggapai dinding atas dari pintu Ka’bah, maka dia telah berhasil memegang Al-‘Urwatul Wutsqa, yaitu: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.
14. Berdesak-desakan untuk shalat (persis) di belakang maqam Ibrahim, karena dapat mengganggu jamaah lainnya yang sedang melakukan thawaf. Padahal diperbolehkan baginya untuk melakukannya walaupun agak jauh di belakang maqam Ibrahim.
15. Lebih parah lagi bila shalat setelah thawaf tersebut dilakukan lebih dari 2 rakaat.
16. Berdiri dan berdoa bersama seusai thawaf dengan satu komando. Lebih tragis lagi manakala doa itu dibaca dengan suara yang amat keras dan mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah haji lainnya.

Beberapa Kesalahan Ketika Melakukan Sa’i
1. Berwudhu’ terlebih dahulu sebelum bersa’i, walaupun masih dalam keadaan suci.
2. Mengharuskan diri untuk naik ke Bukit Shafa dan menyentuhkan badan ke dindingnya.
3. Mengangkat kedua tangan sebagaimana layaknya takbiratul ihram sambil bertakbir tiga kali ketika berada di atas Shafa dan Marwah.
4. Berlari-lari kecil pada seluruh putaran di antara Shafa dan Marwah. Padahal yang dituntunkan hanyalah ketika lewat di antara dua tanda hijau saja.
5. Melakukan shalat dua rakaat seusai sa’i.

Beberapa Kesalahan ketika di Arafah
1. Mengharuskan diri mandi untuk menyambut hari Arafah.
2. Melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 8 Dzul Hijjah dalam rangka ihtiyath (berhati-hati), atau karena adanya keyakinan bahwa hari Arafah itu pada tanggal 8 Dzul Hijjah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sekte sesat Syi’ah Rafidhah.
3. Melakukan wuquf di luar batas wilayah Arafah.
4. Meninggalkan pembicaraan (membisu) dan meninggalkan doa.
5. Masuk ke dalam kubah yang berada di atas Jabal Rahmah, lalu shalat padanya atau mengelilinginya (berthawaf) sebagaimana layaknya berthawaf di Ka’bah.
6. Berangkat dari Makkah ke Arafah sejak tanggal 8 Dzul Hijjah.
7. Keyakinan bahwa wuquf di Arafah pada Hari Jum’at merupakan haji akbar dan senilai dengan 72 kali haji.
8. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari tanggal 9 Dzul Hijjah.

Beberapa Kesalahan ketika di Muzdalifah
1. Tergesa-gesa saat beranjak dari Arafah menuju Muzdalifah.
2. Mengharuskan diri mandi untuk menginap di Muzdalifah.
3. Tidak segera melaksanakan shalat Maghrib dan ‘Isya saat tiba di Muzdalifah, bahkan sibuk mengumpulkan batu-batu kerikil.
4. Tidak menginap di Muzdalifah tanpa ada udzur syar’i.
5. Mengisi malamnya dengan shalat malam dan dzikir. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan malam tersebut untuk istirahat.

Beberapa Kesalahan ketika Melempar Jumrah
1. Mengharuskan diri untuk mandi sebelum melempar jumrah.
2. Mencuci batu kerikil terlebih dahulu sebelum dilemparkan.
3. Melempar jumrah dengan menggunakan batu besar, sepatu, dan lain sebagainya.
4. Keyakinan bahwa melempar jumrah itu dalam rangka melempar setan. Sehingga tidak jarang dari sebagian jamaah haji yang melemparkan benda-benda yang ada di sekitarnya, seperti sandal, payung, botol, dsb, agar lebih menyakitkan bagi setan.
5. Berdesak-desakan (saling mendorong) jamaah haji yang lainnya untuk bisa melakukan pelemparan.
6. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut secara sekaligus. Padahal yang dituntunkan oleh baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melemparkannya satu demi satu sambil diiringi takbir.
7. Mewakilkan pelemparan kepada orang lain, padahal ia mampu untuk melakukannya.

Beberapa Kesalahan Ketika Menyembelih Hewan Kurban dan Bertahallul
1. Enggan untuk menyembelih hewan kurban yang merupakan kewajiban untuk haji Tamattu’-nya, dan lebih memilih untuk bershadaqah senilai harga hewan kurban tersebut.
2. Menyembelih hewan kurban untuk haji tamattu’ di Makkah sebelum hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
3. Mencukur dari sebelah kiri, atau menggundul/mencukur sebagian kepala saja bagi laki-laki.
4. Melakukan thawaf di seputar masjid yang berada di dekat tempat pelemparan jumrah.
5. Tidak melakukan sa’i setelah thawaf ifadhah dalam haji tamattu’.

Beberapa Kesalahan Ketika Thawaf Wada’
1. Meninggalkan Mina pada hari nafar (12 atau 13 Dzulhijjah) sebelum melempar jumrah dan langsung melakukan thawaf wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melempar jumrah. Setelah itu mereka langsung pulang ke negara masing-masing. Padahal semestinya, thawaf wada’-lah yang merupakan penutup dari seluruh manasik haji.
2. Berjalan mundur seusai thawaf wada’, dengan anggapan sebagai tanda penghormatan terhadap Ka’bah.
3. Membaca doa-doa tertentu yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai “ucapan selamat tinggal” terhadap Ka’bah.

Beberapa Kesalahan ketika Berada di Kota Madinah
1. Meniatkan safar untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal niat yang benar adalah dalam rangka mengunjungi Masjid Nabawi dan shalat di dalamnya.
2. Menitipkan pesan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jamaah haji dan para penziarah, agar disampaikan di kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih aneh lagi disertai foto/KTP yang bersangkutan.
3. Adanya praktik-praktik kesyirikan yang dilakukan di kuburan Nabi, antara lain:
 Menyengaja shalat dengan menghadap ke kubur.
 Bertawassul atau meminta syafaat kepada beliau secara langsung.
Mengusap-usap dinding kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ngalap berkah, yang tidak jarang disertai dengan tangisan histeris.
 Berdoa secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mencukupi kebutuhannya.
4. Meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi merupakan bagian dari manasik haji.
5. Keyakinan bahwa haji seseorang tidaklah sempurna tanpa menetap di Madinah selama 8 hari untuk melakukan shalat wajib selama 40 waktu, yang diistilahkan dengan “Arba’inan”1.

Beberapa Kesalahan Setiba Di Kampung Halaman
1. Memopulerkan gelar ’Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’. Sampai-sampai ada yang marah/tersinggung bila tidak dipanggil dengan panggilan tersebut.
2. Merayakannya dengan aneka pesta sambil diiringi shalawat Badar dan yang sejenisnya.
3. Meminta barakah kepada orang yang pulang haji, dengan keyakinan bahwa para malaikat sedang mengelilinginya.

Sumber Bacaan:
1. At-Tahqiq wal-Idhah Lilkatsir Min Masa`ilil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, karya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
2. Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Kama Rawaha ‘Anhu Jabir radhiyallahu ‘nhuma, karya Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani.
3. Manasikul Hajji Wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
4. Al-Manhaj limuridil ‘Umrah wal Hajj, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
5. Shifat Hajjatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu.
6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir wa Zaairi Masjidr Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Majmu’ah minal Ulama’, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia.
7. Mu’jamul Bida’, karya Asy-Syaikh Ra`id bin Shabri bin Abi Alfah.


1 Hal ini berdasarkan sebuah hadits:

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ يَفُوْتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ

“Barangsiapa yang shalat di masjidku (Masjid Nabawi) sebanyak empat puluh (40) shalat, tanpa ada satu pun yang terlewati, maka ditetapkan baginya: bebas dari an-naar, selamat dari adzab, dan terlepas dari nifaq.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Namun derajat hadits ini munkar (lebih parah daripada dha’if atau lemah). Hal itu dikarenakan tidak ada yang meriwayatkannya kecuali seorang perawi yang bernama Nabith, dan ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal). Kemudian apa yang ia riwayatkan menyelisihi riwayat seluruh perawi hadits tersebut. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 364 atau Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 6/318 karya Asy-Syaikh Al-Albani)

Miqad dan Hukum berihram Dari Jeddah

Hukum Ihram Dari Jeddah

Lembaga Hukum Islam [Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islamiyah] di Mekkah Al-Mukarramah mendiskusikan tema : "Hukum-Ihram di Jeddah". Demikian itu adalah karena tidak tahunya banyak orang yang datang ke Mekkah untuk haji dan umrah lewat udara dan laut tentang arah tempat-tempat miqat yang telah ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram dari tempat-tempat tersebut kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dan selain penduduk yang ingin haji dan umrah. Setelah saling mempelajari dam memaparkan dalil-dalil syar'i tentang hal tersebut maka majelis menetapkan sebagai berikut, diantaranya : Sesungguhnya tempat-tempat miqat yang ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram darinya kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduknya yang ingin haji dan umrah adalah Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Madinah.
Melewati Miqat Tanpa Ihram
Jumat, 17 Desember 2004 07:23:59 WIB

Orang yang datang ke Mekkah untuk haji atau umrah dan dia belum ihram ketika telah melewati miqat maka dia wajib kembali ke tempat miqat dan ihram untuk haji dan umrah dari miqat tersebut. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian itu dalam sabdanya. "Penduduk Madinah ihram dari Dzul-Hulaifah, penduduk Syam (Yordania, Palestina dan sekitarnya) ihram dari Juhfah, penduduk Najd ihram dari Qarnul Manazil, dan penduduk Yaman ihram dari Yalamlam". Demikianlah yang terdapat dalam hadits shahih. Adapun seseorang yang datang ke Mekkah karena tujuan selain haji atau umrah, seperti datang mengunjungi kerabat atau kawan-kawannya, maka dia tidak wajib ihram dan boleh masuk kota Mekkah dengan tidak berpakaian ihram.
Wajib Ihram Di Miqat
Minggu, 12 Desember 2004 11:40:55 WIB

Kewajiban orang yang pergi ke Mekkah untuk haji atau umrah adalah ihram dari miqat yang dilewatinya dan tidak boleh melewati miqat tersebut tanpa ihram. Sebab ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberaoa miqat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Tempat-tempat miqat ini adalah bagi penduduknya dan bagi orang-orang yang melewatinya dari mereka yang bukan penduduknya, yaitu bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan barangsiapa yang tempat tinggalnya lebih dekat ke Mekkah daripada tempat-tempat miqat tersebut maka dia ihram dari tempat ia berada, hingga bagi pendukuk Mekkah, maka mereka berihram dari Mekkah". Karena itu jika seseorang dari Yaman lewat Yalamlam maka dia wajib ihram ketika di Yalamlam.
Miqat Zamani Dan Miqat Makani
Minggu, 12 Desember 2004 11:36:45 WIB

Miqat zamani dalam haji adalah bulan Syawwal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Maka seseorang tidak boleh ihram haji melainkan pada waktu tersebut. Firman-Nya :"(Musim) Haji adalah dalam beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". Barangsiapa ihram haji dalam waktu tersebut maka ihramnya sah, tapi dia harus tetap dalam ihram hingga wukuf di Arafah pada hari Arafah. Sedangkan waktu umrah maka tidak ada waktu khusus, bahkan dapat dilakukan dalam sepanjang tahun. Tapi yang paling utama adalah umrah pada bulan Ramadhan karena pahalanya sebanding dengan haji.
Satu Haji Atau Umrah Tidak Boleh Untuk Dua Orang, Mewakili Haji Orang Lain Namun Dia Tidak Mampu
Kamis, 9 Desember 2004 06:54:06 WIB

Ulama menyatakan bahwa satu umrah tidak dapat diniatkan untuk dua orang. Satu umrah hanya untuk satu orang. Adakalanya untuk seseorang, atau untuk bapaknya atau untuk ibunya. Dan tidak mungkin seseorang niat umrah untuk dua orang. Dan jika dia melakukan demikian itu maka umrahnya tidak untuk kedua orang, tapi menjadi untuk dirinya sendiri. Tapi saya ingin mengatakan, bahwa seyogianya seseorang menjadikan amal shaleh yang dilakukan diniatkan untuk dirinya sendiri, baik umrah, haji, sedekah, shalat, membaca Al-Qur'an atau yang lainnya. Sebab seseorang butuh kepada amal-amal shalih tersebut yang akan datang kepadanya hari yang dia berharap bila dalam catatan amalnya terdapat suatu kebaikan. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membimbing umatnya untuk memalingkan amal shalihnya kepada bapaknya atau ibunya, juga tidak kepada orang yang masih hidup atau orang yang telah meninggal.

Orang Kaya Meninggal Dan Belum Haji Lalu Dihajikan Dari Hartanya

Orang Kaya Meninggal Dan Belum Haji
Lalu Dihajikan Dari Hartanya

Jika seorang Muslim meninggal dan belum haji sedangkan dia memenuhi syarat kewajiban haji maka hajinya wajib digantikan dari harta yang ditinggalkan, baik dia mewasiatkan untuk dihajikan maupun tidak. Dan jika orang yang menggantikan hajinya bukan anaknya sendiri namun dia anak yang sah melakukan haji dan juga telah haji maka hajinya sah untuk menggantikan orang lain dan telah mencukupi dari gugurnya kewajiban. Adapun penilaian haji seseorang yang menggantikan orang lain, apakah pahala hajinya seperti jika dilakukan sendiri, lebih sedikit, atau lebih banyak, maka demikian itu kembali kepada Allah. Dan tidak syak bahwa yang wajib bagi seseorang adalah segera haji jika telah mampu sebelum dia meninggal berdasarkan beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut dan dikhawatirkan dosa karena menunda-nunda.

Berhaji Dibawah Bimbingan Rasulullah

BERHAJI DI BAWAH BIMBINGAN RASULULLAH

Pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan karunia Allah yang menjadi dambaan setiap muslim. Predikat ‘Haji Mabrur’ yang tiada balasan baginya kecuali Al Jannah tak urung sebagai target utama dari kepergian ke Baitullah. Namun, mungkinkah semua yang berhaji ke Baitullah dapat meraihnya? Tentu jawabannya: mungkin, dengan dua syarat:
1. Di dalam menunaikannya harus benar-benar ikhlas karena Allah, bukan karena ingin menyandang gelar ‘pak haji’ atau ‘bu haji’.
2. Harus dilakukan sesuai bimbingan Rasulullah
Mungkin calon jama’ah haji akan mengatakan: “Kami siap mengikhlaskannya karena Allah ?, bukan untuk tetek bengek dari kehidupan dunia ini! Tapi kami masih buta tentang manasik haji Rasulullah , bisakah kami mengetahuinya, agar dapat meraih haji mabrur?”
Jangan bersedih wahai jama’ah haji, karena setiap muslim berhak untuk mengetahui ajaran Rasulullah .
Ketahuilah, di dalam melakukan ibadah haji ada tiga cara: Tamattu’, Qiran, dan Ifrad. Yang paling utama adalah tamattu’, dan alhamdulillah mayoritas jamaah haji Indonesia berhaji dengan haji tersebut. Maka dari itu akan lebih tepat bila kajian kali ini difokuskan pada jenis haji ini.
Apa yang dimaksud dengan haji tamattu’? Haji tamattu’ adalah melaksanakan ibadah umrah secara sempurna pada bulan-bulan haji (Syawwal, Dzulqa’dah dan sebelum tanggal 10 Dzul Hijjah) dan bertahallul darinya, lalu berihram untuk haji pada tahun (Hijriyyah) itu juga.
Untuk haji ini wajib menyembelih Hadyu (hewan kurban).
Saudaraku, jamaah haji Indonesia –menurut kebiasaan– terbagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama akan berangkat terlebih dahulu ke kota Madinah dan setelah tinggal beberapa hari di sana, barulah berangkat ke Makkah. Untuk gelombang pertama ini miqatnya adalah Dzulhulaifah (Abyar Ali), miqat ahlul Madinah, sehingga start ibadah hajinya dari Madinah. Untuk gelombang kedua, maka akan langsung berangkat ke Makkah dan miqatnya adalah Yalamlam yang berjarak kurang lebih 10 menit sebelum mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, sehingga start ibadah hajinya (ihramnya) sejak di pesawat.
Adapun manasik haji tamattu’ yang sesuai dengan bimbingan Rasulullah adalah sebagai berikut :
1. Bila anda telah berada di miqat, maka mandilah, dan pakailah wewangian jika memungkinkan. Kemudian pakailah kain ihram yang terdiri dari dua helai, untuk bagian bawah dan atas tubuh. Adapun wanita tetap mengenakan pakaiannya sesuai dengan batasan-batasan syar’i. Kemudian berniatlah ihram untuk umrah dengan mengatakan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً
“Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah”
Kemudian mengucapkan Talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ و النِّعْمَةَ لَكَ وَ الْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Ku sambut panggilan-Mu Ya Allah, ku sambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, ku sambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Di antara hal-hal yang harus diperhatikan ketika berihram adalah:
- Menjalankan apa yang telah diwajibkan oleh Allah ? seperti sholat dan yang lainnya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah ? diantaranya; kesyirikan, perkataan yang kotor, kefasikan, debat dan kemaksiatan.
- Tidak boleh mencabut rambut ataupun kuku, dan tidak mengapa bila rontok atau terkelupas dengan tidak sengaja.
- Tidak boleh mengenakan wewangian baik pada tubuh, ataupun kain ihram. Dan tidak mengapa adanya bekas minyak wangi yang dikenakan sebelum berihram.
- Tidak boleh berburu ataupun membantu orang yang berburu.
- Tidak boleh mencabut tanaman yang ada di Tanah Suci, tidak boleh meminang wanita, menikah ataupun menikahkan.
- Tidak boleh menutup kepala dengan sesuatu yang menyentuh (kepala tersebut) dan tidak mengapa untuk memakai payung ataupun berada di bawah atap kendaraan.
- Tidak boleh memakai pakaian yang sisi-sisinya melingkupi tubuh (baju, kaos), imamah, celana dan sebagainya. Boleh untuk memakai sandal, cincin, kaca mata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpam uang, data-data penting dan yang lainnya. Dan diperbolehkan juga untuk mengganti kain yang digunakan serta mencucinya sebagaimana diperbolehkan membasuh kepala dan badan.
- Tidak boleh melewati miqatnya dalam keadaan tidak berihram.

2. Bila telah tiba di Makkah (di Masjidil Haram) maka bersucilah (sebagai syarat Thawaf), lalu selempangkan pakaian atas di bawah ketiak kanan, sedang yang kiri tetap diatas pundak kiri, kemudian lakukanlah Thawaf sebanyak 7 putaran, dimulai dari Hajar Aswad dengan memposisikan Ka’bah di sebelah kiri. Hajar Aswad ke Hajar Aswad terhitung 1 putaran. Disunnahkan pada putaran 1 hingga 3 untuk berthawaf sambil berlari-lari kecil, dan disunnahkan pula mengakhiri semua putaran (ketika berada di antara 2 rukun: Yamani dan Hajar Aswad) dengan membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari adzab api neraka.”
Setiap kali tiba di Hajar Aswad disunnahkan untuk menciumnya atau memegangnya ataupun berisyarat dengan tangan, sambil mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar”. Bila terjadi keraguan tentang jumlah putaran Thawaf, maka ambillah hitungan yang paling sedikit.
3. Seusai Thawaf tutuplah kembali pundak kanan dengan pakaian atasmu, kemudian lakukanlah shalat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah) walaupun agak jauh darinya, dan bila kesulitan mendapatkan tempat maka tidak mengapa dilakukan di bagian mana saja dari Masjidil Haram. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Kaafiruun dan pada rakaat ke dua membaca surat Al-Ikhlash.
4. Kemudian minumlah zam-zam lalu cium/pegang/berisyarat ke Hajar Aswad, dan setelah itu pergilah ke Shofa untuk bersa’i. Setiba di Shofa bacalah
إِنَّ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةَ مِن شَعَآ ئِرِاللهِ صلى
(QS. Al Baqarah: 158)
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
kemudian menghadaplah ke ka’bah, lalu bertakbir tiga kali, dan mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يحُيْي وَ يُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَئٍ قَدِيْر لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Ini dibaca 3 kali, setiap kali selesai dari salah satunya, disunnahkan untuk berdo’a sesuai dengan apa yang kita inginkan.
5. Setelah itu berangkatlah menuju Marwah dan ketika lewat diantara dua tanda hijau percepatlah jalanmu lebih dari biasanya, setiba di Marwah lakukanlah seperti apa yang dilakukan di Shofa (namun tidak membaca QS. Al Baqarah: 158). Dengan demikian, terhitunglah 1 putaran. Lakukanlah seperti ini sebanyak 7 kali (Dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah).
6. Seusai Sa’i, lakukanlah tahallul dengan mencukur rambut kepala (bagi pria) dan memotong sepanjang ruas jari (bagi wanita). Dengan bertahallul, maka berarti telah selesai dari umrah dan diperbolehkan segala sesuatu dari mahdhuratil Ihram (hal-hal yang dilarang ketika berihram).
7. Pada tanggal 8 Dzul Hijjah (hari Tarwiyyah) mandilah dan pakailah wewangian serta
kenakan pakaian ihram, setelah itu berniatlah ihram untuk haji dari tempatmu seraya mengucapkan:
لَبَّيْكَ حَجًّا،
“Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan haji”
kemudian mengucapkan Talbiyah:
لَبَّيْكَ اللهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَ المُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Lalu berangkatlah menuju Mina (untuk menginap di sana) dengan melakukan shalat-shalat yang 4 rakaat (Dhuhur, Ashr dan Isya’) menjadi 2 rakaat (qashar) dan dikerjakan pada waktunya masing-masing tanpa di-jama’.
8. Ketika matahari telah terbit di hari 9 Dzul Hijjah, berangkatlah menuju Arafah, dan setiba disana perbanyaklah do’a dengan menghadap kiblat dan mengangkat tangan hingga matahari terbenam. Adapun shalat dhuhur dan ‘ashr dilakukan di waktu shalat dhuhur (jama’ taqdim) 2 rakaat-2 rakaat (qashar) dengan satu adzan dan dua iqomah.
9. Ketika matahari terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah sambil terus mengucapkan talbiyah. Setiba di Muzdalifah sholatlah Maghrib dan Isya’ di waktu Isya’ (jama’ ta’khir) dengan di-qashar, kemudian bermalamlah di sana hingga datang waktu shalat subuh. Seusai shalat shubuh perbanyaklah do’a dan dzikir hingga langit tampak terang (sebelum terbit matahari).
10. Kemudian berangkatlah menuju Mina sambil terus mengucapkan Talbiyah, dan bila ada para wanita ataupun orang-orang lemah yang bersamamu, maka boleh berangkat ke Mina dipertengahan malam.
11. Ketika tiba di Mina (tanggal 10 Dzul Hijjah) kerjakanlah hal-hal berikut ini:
- Lemparlah jumrah Aqobah dengan 7 batu kerikil (sebesar kotoran kambing) dengan bertakbir pada tiap kali lemparan.
- Sembelihlah Hadyu (hewan qurban), makanlah sebagian dagingnya serta shodaqohkanlah kepada orang-orang fakir. Boleh juga penyembelihan ini diwakilkan kepada petugas resmi dari pemerintah Arab Saudi yang ada di sana. Bila tidak mampu membeli atau menyembelih hewan kurban maka wajib puasa tiga hari di hari-hari haji dan tujuh hari ketika pulang dari haji.
- Gundullah atau cukurlah seluruh rambut kepalamu, dan gundul lebih utama. Adapun wanita cukup memotong sepanjang ruas jari dari rambut kepalanya. Dan jika anda telah melempar jumrah Aqobah dan menggundul atau mencukur rambut, maka berarti anda telah ber-tahallul awal sehingga boleh memakai pakaian dan seluruh larangan-larangan ihram kecuali menggauli isteri.
- Kemudian pergilah ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhoh/thawaf haji (tanpa lari-lari kecil pada putaran satu hingga tiga), lalu bersa’i. Dengan selesainya amalan ini, maka berarti telah ber-tahallul tsani dan diperbolehkan semua yang dilarang dalam ihram.
Thawaf ifadhoh ini boleh diakhirkan, sekaligus dijadikan sebagai thawaf wada’ (ketika hendak meninggalkan Makkah).
Demikianlah urutan yang paling utama dari amalan yang dilakukan di Mina pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut, namun tidak mengapa bila didahulukan yang satu atas yang lainnya.
12. Setelah melakukan thawaf ifadhoh pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut kembalilah ke Mina untuk mabit (bermalam) disana selama tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah (hari-hari Tasyriq), dan anda boleh bermalam 2 malam saja (nafar awal).
13. Lemparlah 3 jumrah selama 2 atau 3 hari dari keberadaanmu di Mina, setelah tergelincirnya matahari (ketika masuk waktu dhuhur hingga waktu malam). Sediakanlah 21 butir batu kerikil, 7 butir untuk melempar jumrah Sughra, 7 butir untuk melempar jumrah Wustho, dan 7 butir untuk melempar jumrah ‘Aqobah (Kubra). Bertakbirlah setiap kali melakukan pelemparan pada jumrah-jumrah tersebut dan pastikan lemparan itu masuk ke dalam sasaran. Bila ternyata tidak masuk, maka ulangilah lemparan walaupun dengan batu yang didapati di sekitarmu.
14. Bila anda ingin mabit 2 malam saja di Mina (nafar awal), maka keluarlah dari Mina sebelum terbenamnya matahari tanggal 12 Dzul Hijjah, tentunya setelah melempar 3 jumrah yang ada. Namun jika matahari telah terbenam dan anda masih berada di Mina maka wajib untuk bermalam dan melempar jumrah di hari ke-13, yang lebih utama adalah mabit 3 malam (nafar tsani). Boleh bagi seseorang yang sakit ataupun lemah untukmewakilkan pelemparan jumrah kepada yang lainnya, dan boleh bagi yang mewakili, melempar untuk dirinya kemudian untuk orang lain (dengan batu yang berbeda) diwaktu dan tempat yang sama.
15. Bila hendak meninggalkan Makkah, maka lakukanlah thawaf wada’ tanpa sa’i, kecuali bagi yang menjadikan thawaf ifadhah sebagai thawaf wada’nya maka harus dengan sa’i.
Demikianlah bimbingan ringkas tentang manasik haji Rasulullah . Semoga kita diberi taufiq oleh Allah ? untuk mengamalkannya. Amin.

Wallahu a’lam bishshowab.

Waspadai Barang Bawaan Kita

AMINAH (38), calhaj asal Jabar yang sedang bersiap-siap keluar dari Asrama Haji
Bekasi menuju Bandara Soekarno Hatta, tampak sibuk mencatat sesuatu. Apa yang
dicatatnya?


KOPER besar jemaah haji sesampainya di Asrama Haji Bekasi langsung
ditimbang karena maksimal 35 Kg/koper. Isi koper besar juga "dibedah"
seandainya ada barang-barang yang dilarang untuk dibawa.* SARNAPI/""PR"

Dia mencatat pesanan oleh-oleh dari anggota keluarga dan kerabatnya. Ya, dia
membuat semacam "daftar barang" yang akan dibelinya di tanah suci. Sambil
setengah malu-malu, Aminah menuturkan cerita bahwa sebenarnya dia bingung
tentang cara membawa barang-barang tersebut. Mungkin, katanya, barang itu akan
dikirim lewat jasa kurir.

Menurut Ketua PW Persatuan Umat Islam (PUI) Jabar, Drs. K.H. Djadja Djahari,
M.Pd., perbuatan calhaj mencatat daftar barang atau oleh-oleh pesanan dari
kerabatnya itu tidak salah. Adapun yang dikhawatirkan calhaj yang bersangkutan
kelak menjadi terganggu konsentrasi ibadahnya.

Dalam kaitan ini, sejumlah mubalig atau petugas pembimbing ibadah haji
menuturkan kepada "PR", tentang seringnya melihat perilaku "lucu" para calhaj
yang "terlibat" dalam komitmen memberikan oleh-oleh kepada kerabatnya di tanah
air.

"Ada calhaj yang begitu tiba di Madinah, langsung bertanya tentang toko emas di
sebelah mana? Jadi, kalau calhaj lain bertanya tentang di sebelah manakah letak
makam Rasulullaah saw., eh, itu calhaj malah tanya pusat perbelanjaan yang
murah meriah," ujar Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A., pembimbing jemaah haji
BPUH "Safari Suci".

Soal keamanan barang bawaan, koper hendaknya dikemas dengan baik agar
barang-barangnya tidak tercecer dan tidak memberikan kesempatan kepada orang
jahat berbuat buruk. Pengemasan barang oleh-oleh, misalnya karpet perlu
dibungkus dengan karung terpal yang biasa atau tebal. Belilah di toko di
sekitar Mekah. Terpal itu dipergunakan untuk membungkus kain karpet, dengan
cara digulungkannya atau dijahit dengan jarum.

Makanan kurma jangan dicampur dengan pakaian dan barang-barang elektronik.
Kalau kita membeli barang elektronik, copotlah batu baterainya. Bila tidak
dicopot terlebih dulu, barang itu akan berbunyi ketika diperiksa di bandara dan
hal itu akan merepotkan kita karena harus membukanya.

* *

APA saja alat-alat yang dibutuhkan dan banyak digunakan selama beribadah haji?

Peralatan itu antara lain spidol (untuk menulisi kardus yang berisi barang),
plester besar/lakban (untuk merekatkan barang-barang yang telah dikemas ke
dalam kardus), kertas tulis (untuk menulis pesan atau petunjuk), lem atau
isolasi (untuk menempelkan kertas berisi pesan atau petunjuk).

Jangan lupa, krim pelembab kulit atau minyak tawon, payung, syal (untuk
melindungi kepala dan tengkuk dari terik sinar matahari dan terpaan angin
panas), sprayer (penyemprot air), masker (untuk melindungi diri dari terpaan
angin agar debu tidak terhirup), sepatu tidak mutlak harus dibawa, karena di
Arab Saudi cuacanya panas. Bawalah sandal.

Pakaian sebaiknya berwarna putih atau terang dan terasa dingin atau nyaman di
kulit seperti yang terbuat dari bahan katun. Bawalah buku-buku panduan
beribadah haji, dan tafsir Alquran. Jangan lupa peralatan mandi, obat-obatan
pribadi. Boleh bawa juga peniti, jarum, benang, gunting lipat, gunting kuku,
kaca cermin kecil, karet gelang, tali untuk jemuran pakaian, paku, obeng, dan
tang.

Adapun barang-barang khusus yang harus dibawa untuk keperluan laki-laki
(pakaian ihram 2 setel, celana panjang 3 potong, kemeja, kain sarung dan piyama
masing-masing 2 potong, kaus kaki 2 pasang, kaus oblong dan pakaian dalam
masing-masing 4 potong, alat cukur jenggot.Untuk perempuan bawalah kain mukena
2 potong, kain sarung 3 potong, pakaian dalam seperlunya, dll.

Soal uang? Memang, salah satu syarat menunaikan ibadah haji ialah mampu dari
segi materi. Sediakanlah uang secukupnya untuk anggota keluarga yang
ditinggalkan dan selama di tanah suci.

* *

HAL lainnya yang perlu diparhatikan yakni jangan membawa benda tajam di dalam
tas tentengan. Ketahuilah, setiap barang yang akan diangkut menggunakan pesawat
akan diperiksa petugas. Jika terdapat barang yang dinilai membahayakan, akan
dikeluarkan. Benda-benda tajam semisal gunting, silet, pisau cukur tak boleh
dibawa dalam tas tentengan.

Ada pula barang-barang yang masuk kategori "diharamkan" karena dikhawatirkan
"membahayakan" yaitu minyak sayur, minyak tanah, kecap, saus, rokok yang
melebihi satu boks dan tentu saja bom maupun senjata api. "Kalau piring tidak
kami larang, tapi kasihan juga kalau calhaj membawa piring terbuat dari kaca
yang mudah pecah hingga akan menyusahkan calhaj sendiri. Kompor minyak tanah
atau gas pasti kami larang," kata Koeswaya Al Itsyam, Humas Kanwil Depag Jabar.
(Sarnapi/Achmad Setiyaji/"PR")***

Do'a Bersama Di Arafah Dan Tempat Lain

Do'a Bersama Di Arafah Dan Tempat Lain

Yang utama bagi orang yang haji pada hari Arafah yang besar itu adalah tekun dalam berdo'a dan merendahkan diri kepada Allah seraya mengangkat kedua tangan. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tekun dalam berdo'a dan dzikir pada hari tersebut hingga matahari terbenam. Yaitu setelah shalat dzuhur dan ashar dengan jama' dan qashar di lembah Arafah, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju ketempat wukuf lalu wukuf disamping batu-batu besar dan di bukit yang sekarang dinamakan 'Al-Aal". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tekun dalam berdo'a dan dzikir seraya mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat dengan duduk di atas untanya. Allah mensyari'atkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdo'a dengan merendahkan diri, suara pelan dan khusyu' kepada Allah seraya penuh harap dan cemas. Terlebih bahwa bukit Arafah merupakan salah satu tempat berdo'a yang paling utama.
Wukuf Di Arafah, Waktu Datang Dan Meninggalkan Arafah
Jumat, 24 Nopember 2006 03:08:23 WIB

Disyari'atkan datang ke Arafah setelah terbit matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan melaksanakan shalat dzuhur dan ashar di qashar dan jama' taqdim dengan satu adzan dan dua iqamat karena meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan jama'ah haji berada di Arafah hingga terbenam matahari dengan memperbanyak dzikir, do'a, membaca al-Qur'an dan talbiyah. Juga disyariatkan memperbanyak membaca : "Laa ilaha illallahu wah dahu laa syaikalahu, lahulmulku walahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syain qadiir, subhaanallahi walhamdullahi walaa ilaha ilallahu wala hawla wala quwwata illa billahi" Juga disunnahkan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat ketika berdoa dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada awal dan akhir do'a, karena Arafah semuanya adalah tempat wukuf.
Sifat Sa'i, Do'a Ketika Memulai Sa'i, Mendahulukan Sa'i Atas Thawaf, Thawaf Tetapi Tidak Sa'i
Senin, 2 Januari 2006 07:06:05 WIB

Sa'i dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah sebanyak tujuh kali. Dimana cara menghitungnya adalah, dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan dari Marwah ke Shafa dihitung satu kali, sehingga hitungan ketujuh berkahir di Marwah. Dan ketika sa'i disunnahkan memperbanyak dzikir, tasbih dan do'a. Dan setiap sampai di Shafa atau Marwah membaca takbir tiga kali dengan mengangkat kedua tangan seraya menghadap ke Ka'bah sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang disyari'atkan dalam sa'i adalah, agar seseorang dalam awal sa'inya membaca " Inna as-shaffaa wal marwata min sya'a 'irillahi". Dan di sunnahkan bagi orang yang sa'i dalam setiap putaran memperbanyak mengingat Allah (dzikir), do'a, tasbih (membaca subhanallah), tahmid (membaca alhamdulillah), takbir (membaca Allahu Akbar) dan istighfar (membaca astagfirullah). Demikian pula ketika dalam thawaf.
Memberikan Uang Suap Untuk Mencium Hajar Aswad, Hukum Sa'i Sebelum Thawaf Umrah
Senin, 2 Januari 2006 06:49:27 WIB

Jika permasalahannya seperti yang disebutkan, maka uang yang diberikan orang tersebut kepada polisi adalah suap yang tidak boleh dilakukan. Sebab mencium hajar aswad hukumnya sunnah dan tidak termasuk rukun atau wajib dalam haji. Maka siapa yang dapat mengusap dan mencium hajar aswad tanpa menggangu siapapun, dia disunnahkan untuk itu. Jika dia tidak memungkinkan untuk mengusap dan mencium hajar aswad, maka dia mengusap dengan tangan maupun tongkatnya, dan jika tidak mampu mengusap dengan tangan maupun dengan tongkatnya, dia mengisyaratkan kepadanya dengan tangan kanan ketika berada pada poisisi searah hajar aswad lalu bertakbir. Ini adalah yang sunnah. Adapun dengan memberikan suap untuk itu, maka tidak boleh bagi orang yang thawaf dan tidak boleh menerima bagi polisi, Maka keduanya wajib taubat kepada Allah dari hal tersebut. Kepada Allah kita mohon pertolongan kebaikan.
Thawaf Wada' Bagi Yang Umrah, Lebih Utama Mengulang-Ngulang Thawaf Atau Shalat Sunnah ?
Selasa, 27 Desember 2005 17:45:17 WIB

Thawaf wada' tidak wajib dalam umrah, tapi melakukannya lebih utama. Jika seseorang meninggalkan Mekkah setelah umrah dan tidak thawaf wada', maka ia tidak berdosa. Adapun thawaf wada' dalam haji maka hukumnya wajib. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah". Pembicaraan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang haji. Dan bagi orang yang haji boleh membeli sesuatu yang dibutuhkananya setelah thawaf wada' meskipun untuk membeli barang dagangan selama waktunya pendek dan tidak lama. Adapun jika waktunya lama, maka dia harus mengulang thawaf wada'. Tapi jika tidak lama menurut standars umum, maka tidak wajib mengulangi thawaf wada' secara mutlak.
Thawaf Wada' Salah Satu Kewajban Dalam Haji, Dan Hukum Meninggalkan Thawaf Wada' Dalam Haji
Selasa, 27 Desember 2005 07:59:24 WIB

Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. "Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah". Dan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, ia berkata. "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh". Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf ketika selesai dari semua amal hajinya dalam waji wada' ketika akan pulang ke Madinah, dan beliau bersabda : "Ambilah dariku manasik hajimu". Beberapa hadits tersebut menunjukkan wajibnya thawaf wada' kecuali bagi wanita yang sedang haidh dan nifas.

Thawaf Wada' Salah Satu Kewajban Dalam Haji, Dan Hukum Meninggalkan Thawaf Wada' Dalam Haji

Thawaf Wada' Salah Satu Kewajban Dalam Haji,
Dan Hukum Meninggalkan Thawaf Wada' Dalam Haji

MENINGGALKAN SATU PUTARAN THAWAF WADA' KARENA ALASAN SYAR'I


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya haji bersama rombongan dan kami telah menyempurnakan haji. Namun pada akhir putaran keenam dalam thawaf wada' istri saya pingsan, maka saya harus membawa dia ke luar Mekkah sehingga saya, saudara lelaki istri saya dan juga istri saya tidak dapat merampungkan putaran thawaf ketujuh. Apakah kami wajib melakukan sesuatu ?

Jawaban
Jika kalian tidak thawaf wada', maka masing-masing wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin tanah suci. Sebab thawaf wada' wajib atas setiap orang haji yang ingin keluar dari Mekkah, dan apabila meninggalkannya berlaku dam (menyembelih binatang), yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau seekor kambing yang memenuhi syarat seperti dalam kurban. Di samping itu, kalian juga harus bertaubat dan memohon kepada Allah. Sebab thawaf wada' tidak boleh ditinggalkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan mengakhiri ibadah hajinya dengan thawaf di Baitullah" [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]

Juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh" [Muttafaqun 'alaih]

Sedangkan hukum wanita yang nifas menurut pendapat ulama seperti hukum wanita yang haidh.

MENINGGALKAN THAWAF WADA' DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan thawaf wada' ketika haji ?

Jawaban
Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah" [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu]

Dan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, ia berkata.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh" [Muttafaqun 'alaih]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam thawaf ketika selesai dari semua amal hajinya dalam waji wada' ketika akan pulang ke Madinah, dan beliau bersabda : "Ambilah dariku manasik hajimu". Beberapa hadits tersebut menunjukkan wajibnya thawaf wada' kecuali bagi wanita yang sedang haidh dan nifas. Maka siapa yang meninggalkannya dari orang-orang yang haji, dia wajib menyembelih kurban karena dia melanggar sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dam meninggalkan ibadah wajib dalam haji. Ini adalah yang benar dari pendapat-pendapat ulama. Sebab terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, ia berkata :

"Artinya : Barangsiapa meninggalkan suatu ibadah wajib dalam haji atau lupa, maka dia wajib menyembelih kurban" [Hadits Riwayat Malik]

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun wanita haidh dan nifas maka keduanya tidak wajib thawaf wada' berdasarkan hadits Ibnu Abbas tersebut dan riwayat lain yang sama dengannya.

THAWAF WADA' SALAH SATU KEWAJIBAN DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya penduduk Jeddah dan saya telah haji tujuh kali. Tapi saya tidak thawaf wada'. Sebab sebagian manusia mengatakan bahwa penduduk Jeddah tidak wajib thawaf wada'. Apakah haji saya benar atau tidak ? Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.

Jawaban
Wajib atas penduduk Jeddah dan yang seperti mereka untuk tidak meninggalkan Mekkah dalam haji kecuali setelah thawaf wada' seperti penduduk Tha'if dan haji yang seperti mereka. Demikian ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyampaikan khutbahnya kepada orang-orang yang haji. Beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah" [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]

Dan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, ia berkata.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh" [Muttafaqun 'alaih]

Dan bagi orang yang meninggalkan wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu ekor kambing, dan disembelih di Mekkah serta dibagikan kepada orang-orang msikin di tanah suci. Juga disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah serta kemauan yang benar untuk tidak akan mengulangi hal yang sama. Sedangkan bagi wanita yang haidh atau nifas maka keduanya tidak wajib thawaf wada'.

Adapun bagi orang yang umrah, maka dia tidak wajib thawaf wada' menurut pendapat ulama yang shahih. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Bahkan Ibnu Abdil Baar menyatakan bahwa ulama sepakat terhadap pendapat tersebut berdasarkan banyak dalil. Di antaranya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang-orang yang tahallul dari umrah dalam haji wada' untuk thawaf wada' ketika mereka keluar dari Mekkah. Juga terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang tahallul di Mekkah pada haji wada' untuk pergi dari rumah masing-masing ke Mina kemudian ke Arafah dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk thawaf wada'

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 165-170, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc

Melontar Jumrah

1. Ada tiga buah Jumroh di Mina, yaitu: Jumroh 'Aqobah, terletak paling dekat ke Mekah Jumroh Wustho, yang terletak di tengah. Jarak antara Jumroh , Aqobah dan Jumroh Wustho kurang lebih 117 m. Jumroh Ula, yang terletak dekat Masjid Khoif. Jarak antara Jumroh Wustho dan Jumroh Ula kurang lebih 156,5 m.

2. Pada tanggal 10 Dzul Hijjah yang dilontar hanyalah Jumroh 'Aqobah. Rasulullah saw. melontarnya pada tanggal 10 Dzul Hijjah setepas Muzdalifah setelah matahari terbit. Ada riwayat yang mengatakan bahwa sebahagian orang yang diizinkan oleh Rasulullah meninggalkan Muzdalifah sebelum fajar, melontar Jumroh Aqobah sebelum matahari terbit bahkan sebelum terhit fajar, tapi ada yang tegas-tegas melarang melontarnya sebelum matahari terbit bahkan untuk keluarga beliau yang diizinkannya meninggalkan Muzdalifah di malam hari. Oleh sebab itu kita harus usahakan melontarnya setelah matahari terbit. Dan tidak mengapa seandainya kita melontarnya di sore hari sekembali kita dari Mekah melakukan towaf Ifadloh.
Jabir berkata: Rasulullah saw. melontar Jumroh ('Aqobah) pada hari Nahar pada waktu Dluha. Adapun yang sesudah itu maka setelah matahari tergelincir (H R. Muslim).
lbnu Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw. memberangkatkan lebih dulu (sebagian) keluarga beliau dan menyuruh mereka tidak melontar Jumroh 'Aqobah sampai terbit matahari. (H.R. Tirmidzi dan ibnu Hibban)
lbnu Abbas berkata: Adalah Rasulullah saw. dahulu ditanya pada hari Nahar di Mina, lalu beliau menjawab: Tidak apa-apa. Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada beliau: Saya telah bercukur sebelum menyembelih (hadyu) ? Beliau menjawab: menyembelihlah, tidak apa-apa. Lalu orang itu bertanya: Saya melempar (Jumroh) sesudah sore Lalu beliau menjawab: Tidak apa-apa. (H.R. Bukhari)

3. Adapun yang dilontar pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah adalah tiga Jumroh tersebut semuanya. Dimulai dari Jumroh Ula, lalu Jumroh Wustho dan Jumroh 'Aqobah. Adapun waktunya melontar di hari-hari itu adalah setiap setelah matahari tergelincir ke barat. Jangan sampai kita melontar sebelum waktunya.Orang boleh hanya melontar pada dua hari, yaitu pada tanggal 11 dan 12. Dan itu dinamakan nafar awal. Dan boleh juga sampai tanggal 13. Dan itulah yang dinamakan nafar tsani.
Hadits riwayat lbnu Umar: Adalah kami dahulu menunggu-nunggu, maka apabila matahari telah tergelincir kami melontar. (H.R. Bukhari)
Firman Allah s.w.t: Dan berdzikirlah, kepada Allah di hari-hari (tasyriq) yang berbilang. Maka barang siapa bersegera pada dua hari maka tidak ada dosa atasnya, dan barang siapa sampai akhir maka tidak ada dosa atasnya, bagi orang yang bertaqwa. (AIBaqoroh 203)

4. Cara melontar Jumroh 'Aqobah pada tanggal 10 Dzul Hijjah menurut sunnah Rasulullah saw. adalah sebagai berikut: Kerikil yang digunakan melontar masing-masing sebesar kerikil lontaran, yaitu sebesar kacang. Rasulullah saw. menyuruh memungutnya waktu tiba di Muhassir sepulang dari Muzdalifah. Tapi dipungut dimanapun boleh.
Fadl bin Abbas berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. di sore hari Arofah dan pagi hari Muzdalifah berkata kepada orang-orang waktu mereka berangkat: Kamu harus tenang! Dan beliau menarik kekang unta beliau sampai masuk ke lembah Muhassir (dia termasuk daerah Mina), beliau bersabda: Kamu ambillah kerikil lontaran yang akan digunakan melempar jumroh. (H.R. Muslim)
Melontar dari arah tenggara Jumroh 'Aqobah, sehingga kiblat terletak di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan pelempar.
Ada diriwayatkan: Sesampai Ibnu Mas'ud di Jumroh 'Aqobah, lalu dibuatnya Baitullah pada arah kirinya dan Mina pada arah kanannya dan melontar tujuh kali dan berkata: beginilah Rasulullah saw. melontar. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Membaca Allahu Akbar beserta setiap kali lontaran. Dan setelah selesai tujuh kali lontaran membaca doa yang artinya: Ya Allah, jadikanlah dia haji yang mabrur dan menjadikan dosa terampuni.
Diriwayatkan: Sesampainya Ibnu Mas'ud ke Jumroh 'Aqobah, lalu melontarnya dari tengah-tengah lembah dengan tujuh kerikil, dalam keadaan menunggang dan bertakbir beserta setiap kerikil, dan mengucap: Allahumma Ij'alhu Hajjan mabrura, wa dzanban maghfuura. Dan katanya: Disini dahulu Rasulullah saw. berdiri. (H.R. Ahmad)

5. Adapun cara melontar tiga jumroh pada hari-hari tasyriq menurut sunnah Rasulullah saw. adalah sebagai berikut: Dimulai melontar Jumroh Ula tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran. Lalu menyisih ke tempat yang longgar, berdiri menghadap kiblat dan berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Lalu melontar Jumroh Wustho tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran. Lalu menyisih ke tempat yang longgar, berdiri menghadap kiblat dan berdoa dengan mengangkat kedua tangan, lebih lama dan yang pertama. Lalu melontar Jumroh 'Aqobah tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran dari arah tenggara Jumroh. Lalu menyingkir tanpa berdiri untuk berdoa.
Salim berkata: Sesungguhnya Ibnu Umar pernah melontar Jumroh Ula dengan 7 kerikil sambil bertakbir beserta setiap kerikil lalu maju ke tempat yang datar lalu berdiri lama menghadap kiblat sambil berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Kemudian melontar Jumroh Wustho lalu mengambil arah ke kiri pergi ke tempat yang datar lalu berdiri menghadap kiblat kemudian berdoa dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama. Kemudian melontar Jumroh 'Aqobah dari tengah lembah dan tidak berdiri di situ kemudian menyingkir dan berkata: Begitulah saya lihat Rasulullah saw. berbuat. (H R. Ahmad dan Bukhari).

Beberapa Indikator Haji Mabrur

Beberapa Indikator Haji Mabrur al :

A. Indikator Saat Ibadah Haji
1. Motivasi atau niat Ibadah Haji, ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT.

2. Proses pelaksanaan sesuai dengan contoh ibadah Rasulullah saw. dimana syarat, rukun wajib (bahkan sunat) ibadah tersebut terpenuhi.

3. Biaya untuk ibadah tersebut diperoleh dengan cara yang halal.

4. Dampak dari ibadah haji positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

B. Indikator Setelah Ibadah Haji

1. Patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, patuh melaksanakan sholat, konsekuen membayar zakat, sungguh-sungguh membangun keluarga sakinah mawaddah dan wa rahmah, selalu rukun dengan sesama umat manusia, sayang kepada sesama makhluk Allah SWT.

2. Konsekuen meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamr, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain, khurafat, bid'ah dsb.

3. Gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat.

4. Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, menda'wahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar ma'ruf dengan cara yang ma'ruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.

5. Memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh, pemaaf, tawadlu dsb.

6. Malu kepada Allah SWT utk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya.

7. Semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam.

8. Bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.

9. Cepat melakukan taubat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa.

10. Sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan "Izzul Islam wal Muslimin".

Dilarang Membunuh Binatang Waktu Berihram

DILARANG MEMBUNUH BINATANG DALM BERIHRAM
BARANGSIAPA yang mau menelusuri warisan pemikiran umat yang sangat kaya ini, maka dia akan menemukan para ulama yang memberikan perhatian besar terhadap fiqh prioritas dan mewaspadai kelalaian terhadapnya, dalam berbagai bentuk yang tersebar di dalam sumber-sumber rujukan Islam yang bermacam-macam; yang dapat ditelusuri dalam baris-baris berikut ini.
MENGENAI HARAMNYA ORANG YANG SEDANG IHRAM MEMBUNUH LALAT
Barangkali pertama-lama kita patut memberikan perhatian terhadap persoalan ini. Yaitu riwayat yang shahih, berasal dari Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan oleh Ibn Abu Nu’aim yang berkata, “Ada seorang lelaki datang kepada Ibn Umar dan pada saat itu saya sedang duduk. Lelaki itu bertanya kepadanya tentang darah nyamuk.” Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Lelaki itu bertanya kepadanya tentang haramnya membunuh lalat.” Maka Ibn Umar berkata kepadanya: “Berasal dari manakah engkau ini?” Lelaki itu menjawab, “Berasal dari Irak.” Ibn Umar berkata lagi: “Ha, lihatlah lelaki ini. Dia bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuhanak Rasulullah saw!! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ,Kedua anak ini –al-Hasan dan al-Husain– merupakan hiburanku di dunia.” Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Penduduk Irak bertanya tentang lalat, padahal mereka telah membunuh cucu Rasulullah saw…” 1
Al-Hafiz Ibn Hajar ketika memberikan penjelasan hadits ini di dalam Fath al-Bari mengatakan, “Ibn Umar meriwayatkan hadits ini dengan penuh keheranan terhadap semangat penduduk Irak yang menanyakan perkara kecil, tetapi mereka melanggar perkara yang besar.” 2
Ibn Battal berkata, “Ada satu pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits tersebut, yaitu bahwa seseorang harus mendahulukan perkara agama yang lebih penting bagi dirinya. Karena sesungguhnya Ibn Umar tidak senang terhadap orang yang bertanya kepada dirinya tentang darah nyamuk, padahal dia meninggalkan istighfar dari dosa besar yang dilakukannya; yaitu dengan memberikan bantuan terhadap pembunuhan al-Husain. Ibn Umar mencela orang tersebut, dan mengingatkan peristiwa itu karena besar dan tingginya kedudukan al-Husain di sisi Nabi saw.” 3
Ketidaksenangan Ibn Umar bukanlah terhadap orang yang bertanya itu, tetapi dia bermaksud mengingkari trend pemikiran pada suatu kelompok manusia yang hendak memperdalam perkara-perkara yang kecil, dan menyibukkan diri mereka di situ, dan pada masa yang sama mereka mengabaikan perkara-perkara yang besar.
Apa yang terjadi pada masa Ibn Umar juga terjadi pada anaknya, Salim, juga dengan penduduk Irak. Mereka bertanya kepadanya tentang sebagian perkara kecil, padahal dalam saat yang sama mereka terjebak dalam perkara-perkara besar, yakni pembunuhan dan penumpahan darah antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dia memberikan peringatan yang sangat keras terhadap hal itu dengan menyampaikan suatu hadits yang shahih: “Setelab kepergianku janganlah kamu menjadi kafir kembali, di mana sebagian dan kamu membunuh sebagian yang lain.”
Muslim meriwayatkan dalam kitab al-Fitan, dari Salim bin Abdullah bahwasanya dia berkata, “Wahai penduduk Irak, apakah sebenarnya yang membuat kamu bertanya tentang perkara-perkara yang kecil, dan yang menjadikan kamu melakukan dosa besar. Aku mendengar ayahku, Abdulla ibn Umar berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya fitnah akan muncul dari sini –sambil tangan beliau saw menunjuk ke arah timur– di mana dua tanduk setan akan muncul dari sana.” Sekarang ini sebagian kamu membunuh sebagian yang lain, dan sesungguhnya Musa pernah salah bunuh, kemudian Allah SWT berfirman, “… dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan…”
Di antara warisan fiqh prioritas dalam warisan pemikiran kita ialah sebuah risalah yang sangat cemerlang, yang diriwayatkan oleh al-hafizh Ibn ‘Asakir dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak, dari Muhammad bin Ibrahim bin Abu Sukainah yang berkata, “Abdullah bin al-Mubarak mendiktekan kepadaku bait-bait syair ini di Tarsus, ketika itu aku meminta izin kepadanya untuk keluar. Dia memperdengarkan bait-bait syair itu bersamaku kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh pada tahun seratus tujuh puluh.” Dalam riwayat yang lain disebutkan pada tahun seratus tujuh puluh tujuh.
Wahai para ahli ibadah di al-Haramain, kalau kamu menyaksikan kami, maka kamu akan mengetahui bahwa sesungguhnya kamu bermain-main dalam ibadah. Kalau orang-orang membasahi pipinya dengan air mata yang mengucur deras, maka dengan pengorbanan kami, kami mengucurkan darah yang lebih deras. Kalau kuda orang-orang kepenatan dalam perkara yang batil, maka sesungguhnya kuda-kuda kami penat dalam melakukan penyerbuan dan peperangan di pagi hari. Bau wewangian menjadi milikmu, sedangkan bau wewangian kami, adalah debu-debu jalanan dan debu-debu itu lebih wangi. Telah datang kepada kami sabda Nabi kami. Sabda yang benar, jujur dan tidak bohong. Tidak sama debu kuda-kuda Allah di hidung seseorang dan asap api yang menyala-nyala; Inilah kitab Allah yang berbicara kepada kami, Bahwa orang yang mati syahid tidak diragukan lagi tidak sama dengan orang yang mati biasa.
Ibrahim berkata, “Kemudian aku pernah berjumpa dengan al-Fudhail bin ‘Iyadh yang membawa tulisan itu di masjid al-Haram. Ketika membacanya, kedua matanya mengucurkan air mata sambil berkata, ‘Abu Abdurrahman benar ketika dia memberikan nasihat kepadaku.’”, Ibrahim berkata lagi: “Apakah kamu termasuk salah seorang yang menulis riwayat ini?” Dia menjawab, “Ya.” Ibrahim berkata kepadanya, “Tulislah riwayat tersebut sebagai orang yang pernah melihat peristiwa itu dan yang membawa tulisan dari Abu Abdurrahman kepada kami. Kemudian al-Fudhail mendiktekan kepada kami: Manshur bin al-Mu’tamir meriwayatkan kepada kami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu amalan yang aku dapat memperoleh pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah .’ Maka Rasulullah saw menjawab, ‘Apakah engkau dapat melakukan shalat dan puasa secara terus-menerus?’ Lelaki itu menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku terlalu lemah untuk melakukan hal itu.’ Maka Nabi saw bersabda, ‘Demi yang diriku berada di tangan-Nya, kalau kamu mampu melakukan hal itu maka kamu tidak dapat mencapai angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah . Atau kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan mendapatkan pahala, sehingga berbagai kebaikan dituliskan untuknya.”
Kisah di atas disebutkan dalam salah satu seminar tentang pemikiran Islam di Aljazair, lalu salah seorang tokoh juru da’wah menolaknya, dan tidak membenarkan bahwa cerita itu memiliki dasar yang benar. Karena bagaimana Ibn al-Mubarak menamakan ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang jelas, kisah itu benar. Ibn ‘Asakir menyebutkan kisah itu berikut sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak, kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di akhir surat Ali ‘Imran,4 yang mengaku kebenaran kisah tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan riwayat hidup Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A’lam an-Nubala’ 5 Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan dengan aqidah Islam dan nash-nashnya, bahkan Ibn al-Mubarak mempergunakan dalil dari al-Qur’an dan sunnah Nabi saw dalam menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.
Tokoh kita, al-Bahi al-Khuli, menyebutkannya dalam bukunya yang terkenal, Tadzkirah ad-Du’at, dan memberikan komentar atas kisah itu sebagai berikut:
“Ibn al-Mubarak menulis perkataan.ini untuk sahabatnya, al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain. Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya tentang ibadah di luar masjid al-Haram?” 6
Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan Moral ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?
Di antara warisan pemikiran para ulama terdahulu yang dapat kita ikuti sekarang ini ialah topik pembahasan mengenai persoalan manakah yang lebih utama bagi seorang Muslim pada saat terjadinya fitnah dan menyebarnya kemaksiatan dan kerusakan. Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam masyarakat ataukah berusaha untuk memperbaikinya, atau memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.
Orang-orarg sufi… kebanyakan lebih memilih tindakan yang kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih mementingkan jalan para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki mereka dengan penuh kesabaran dalam menerima siksaan yang dilakukan oleh manusia.
Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,
“Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” 7
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam buku Ihya’-nya memberikan komentar di sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri dan tetap bergaul dengan mereka.
Topik lainnya yang juga menjadi pembahasan mereka ialah tentang dunia dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita menggeluti dunia dan kemewahannya, ikut serta melakukan kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan kenikmatannya dengan tetap memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh Allah SWT; ataukah kita memalingkan diri darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya, perhiasan dunia, dan harta kekayaannya?
Kebanyakan orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan tetapi ulama rabbani yang benar dari ulama umat ini lebih memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta para tokoh senior sahabat Rasulullah saw, seperti Utsman, Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa’ad, dan lain-lain
Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap para sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya sebagai suatu keburukan dan bencana, serta tidak mau memilikinya dan mencarinya walaupun kekayaan itu halal. Ibn al-Jawzi dalam buku kritiknya, Talbis Iblis, mempergunakan dalil yang berasal dari al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari’ah agama.
MENINGGALKAN LARANGAN ATAU MELAKUKAN KETAATAN?
Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang lebih utama dan diprioritaskan di sisi Allah , meninggalkan larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan perintah-Nya dan mentaati-Nya?
Sebagian ulama mengatakan, “Meninggalkan larangan lebih penting daripada melakukan perintah.” Mereka mengeluarkan pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati keshahihannya, yang disebutkan oleh al-Nawawi dalam al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam Jami’-nya; yaitu:
“Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu.” 8
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa larangan lebih diutamakan daripada perintah, karena sesungguhnya dalam larangan tidak dikenal adanya keringanan (rukhshah) dalam suatu perkara, sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan orang yang hendak mengerjakannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad
Pendapat ini serupa dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan, “Amal kebajikan dilakukan oleh orang baik dan orang yang durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan kecuali oleh orang yang jujur.”9
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda kepadanya,
“Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscayaengkau akan menjadi manusia yang paling baik dalamberibadah.” 10
‘Aisyah r.a. berkata, “Barangsiapa yang ingin menyaingi kebaikan orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah dia menahan diri dari berbagai dosa.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah secara marfu’. 11
Al-Hasan berkata, “Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang lebih baik daripada meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.”
Sebetulnya, riwayat yang menyebutkan keutamaan meninggalkan hal-hal yang haram atas perbuatan ketaatan hanyalah dimaksudkan dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah. Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan yang wajib lebih utama daripada jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal yang haram itu dituntut ketidakberadaannya; dan oleh sebab itu tidak memerlukan niat. Berbeda dengan amalan yang bila ditinggalkan bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian rukun Islam. Hal ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana perbuatan itu sendiri tidak mengandung kekufuran. Hal ini dibuktikan dengan ucapan Ibn Umar, “Sesungguhnya menolak satu daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih baik daripada menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.
Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf: “Meninggalkan satu daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji.”
Maimun bin Mihran berkata, “Mengingat Allah dengan lidah adalah baik, dan lebih utama lagi jika seorang hamba mengingat-Nya saat hendak melakukan maksiat kemudian dia mencegah diri dari melakukannya.”
Ibn al-Mubarak berkata, “Penolakanku terhadap satu dirham yang berasal dari syubhat adalah lebih aku cintai daripada bershadaqah seratus ribu dan seratus ribu, sehingga sampai enam ratus ribu.”
Umar bin Abd al-Aziz berkata, “Ketaqwaan itu bukan berjaga dan beribadah di malam hari, atau berpuasa di siang hari, atau kedua-duanya sekaligus; akan tetapi ketaqwaan itu adalah menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Jika setelah itu masih ada lagi amalan yang dapat dikerjakan, maka ia adalah kebaikan yang ditambahkan kepada kebaikan.”
Dia juga mengatakan, “Aku senang kalau aku tidak dapat melakukan shalat selain shalat lima waktu dan shalat witir; dapat menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan tidak berpuasa satu hari pun setelah itu; melakukan ibadah haji kemudian tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu; lalu dengan sisa kekuatanku, diriku ini berniat melakukan apa yang diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya.”
Kesimpulan pendapat mereka ialah bahwa menjauhi hal-hal yang diharamkan –walaupun jumlahnya sangat sedikit– adalah lebih utama daripada memperbanyak ketaatan yang hukumnya sunnah. Karena sesungguhnya menjauhi larangan hukumnya fardhu dan memperbanyak ketaatan dalam hal yang sunnah hukumnya sunnah.
Kelompok ulama khalaf mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu,’ adalah karena mentaati Allah SWT dalam suatu perkara tidak dapat dilakukan kecuali dengan melakukan amalan, dan amalan itu bergantung kepada adanya beberapa syarat dan sebab; sedangkan sebagian sebab itu ada yang tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengaitkannya dengan kemampuan? sebagaimana Allah SWT mengaitkan perintah-Nya untuk melakukan taqwa dengan kemampuan.
“Maka bertagwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu …” (at- Taghabun: 16)
“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah , (bagi) orang yang mampu melaksanakannya” (Ali Imran: 97)
Sedangkan tuntutan pada larangan ialah meniadakan perbuatan. Itulah hukum asalnya. Maksudnya hendaklah perbuatan itu tidak ada untuk selama-lamanya. Sehingga tidak dikenal di dalamnya kemampuan untuk tidak dapat melakukannya Sehubungan dengan masalah itupun ada beberapa pandangan. Kekuatan yang mendorong kepada perbuatan maksiat itu bisa jadi kuat, sehingga seseorang tidak memiliki kesabaran untuk mencegah diri darinya, padahal dia memiliki kemampuan untuk melakukannya.Sehingga pencegahan untuk kasus seperti ini memerlukan usaha keras, dan barangkali melebihi usaha dalam memberikan semangat kepada jiwa seseorang untuk melakukan ketaatan. Oleh sebab itu, banyak sekali orang yang berusaha keras melakukan ketaatan, tetapi dia tidak kuat untuk meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Umar pernah ditanya tentang suatu umat Islam yang sangat mudah digoda oleh kemaksiatan tetapi mereka tidak melakukan kemaksiatan tersebut. Dia menjawab, “Mereka adalah suatu umat Muslim yang hati mereka diuji oleh Allah SWT dalam ketaqwaan. Mereka berhak memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” 12
Yazid bin Maisarah berkata bahwa Allah SWT berfirman dalam sebagian kitab suci-Nya yang lain, “Wahai pemuda yang mau meninggalkan nafsu syahwatnya, yang menghabiskan waktu remajanya untuk-Ku, engkau di sisi-Ku adalah seperti sebagian malaikat-Ku.” 13
Dia juga berfirman, “Alanglah dahsyatnya nafsu syahwat di dalam tubuh manusia. Ia bagaikan api yang membakar. Maka bagaimana mungkin orang yang tak berpagar dapat selamat darinya?” 14
Kesimpulannya, sesungguhnya Allah tidak memberikan beban kepada para hamba-Nya untuk melakukan amal perbuatan yang tidak mampu mereka lakukan. Dan banyak sekali amal perbuatan yang tidak dibebankan lagi kepada mereka oleh Allah SWT hanya karena ada kesulitan, sebagai keringanan dan rahmat bagi mereka. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan larangan, maka tidak ada seorangpun yang dimaafkan apabila dia melakukannya dengan kekuatan nafsu syahwatnya. Bahkan, Allah memberikan beban kepada mereka untuk meninggalkannya bagaimanapun keadaannya. Allah membolehkan seseorang untuk memakan makanan yang diharamkan ketika dia berada di dalam keadaan darurat untuk mempertahankan hidup, dan bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu syahwatnya. Atas dasar itu, kita dapat mengetahui kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad: “Sesungguhnya larangan itu lebih berat daripada perintah.” Diriwayatkan dari Nabi saw, dari Tsauban, dan lain-lain bahwasanya beliau bersabda,
“Istiqamahlah terus, tetapi kamu tidak akan mendapatkannya.” 15
Yakni tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan.
Diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 282. Darimi, 1: 168 dari al-Walid bin Muslim: “Ibn Tsauban memberitahukan kepada saya, bahwa Hisan bin ‘Athiyah memberitahu saya bahwa Abu Kabsyah al-Saluli berkata bahwasanya dia mendengar Tsauban berkata…”
KAYA DISERTAI SYUKUR ATAUKAH MISKIN DISERTAI SABAR?
Di antara pembahasan yang termasuk di dalam fiqh pertimbangan atau fiqh prioritas ialah apa yang dibahas oleh para ulama terdahulu di sekitar pertanyaan ini, “Manakah yang lebih utama dan lebih banyak pahalanya, kaya tetapi bersyukur ataukah miskin tetapi bersabar? Dengan kata lain: “Menjadi orang yang kaya tetapi bersyukur atau menjadi orang miskin tetapi bersabar?”
Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam. Ada yang memilih pernyataan pertama dan ada juga memilih yang kedua.
Bagi saya, setelah menghayati nash-nash yang berkaitan dengannya dan melakukan kajian perbandingan atas nash-nash tersebut, maka saya memilih pernyataan bahwa menjadi orang kaya tetapi mau bersyukur adalah lebih utama. Untuk menjadi orang kaya tetapi mau bersyukur adalah sesuatu yang tidak mudah, sebagaimana dugaan orang banyak. Allah SWT berfirman:
“… Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih… (Saba’: 13)
Allah SWT berfirman menirukan apa yang dikatakan oleh Iblis terlaknat:
“… Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (al-A’raf: 17)
Rasulullah saw pernah memohon kekayaan kepada Allah SWT, dan memohon perlindungan dari-Nya untuk dijauhkan dari kemiskinan.
Rasulullah saw berdoa,
“Ya Allah , sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, kesucian diri, dan kekayaan.” 16
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kezaliman orang dan menzalimi orang.” 17
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan kemunafiqan.” 18
“Ya Allah , sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk sahabat.” 19
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa’ad,
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa, kaya, dan tidak menonjolkan dirinya.” 20
Rasulullah saw bersabda kepada Amr’
“Wahai Amr, sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki oleh orang yang shaleh.” 21
Hadits “Orang-orang kaya meraih tingkat yang tinggi…” menunjukkan bahwa orang-orang kaya apabila mereka mau bersyukur kepada nikmat Allah , dan menunaikan haknya, maka mereka akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan amalan-amalan fardhu yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang miskin. Oleh karena itu dalam hadits pernah disebutkan, “Itulah kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendakiNya.” (Bukhari, 843, 6329, dan Muslim, 595)
Allah SWT telah memuji rasul-rasul-Nya yang mulia, karena mereka mau bersyukur kepadaNya. Seperti syaikh para rasul, Nuh a.s., yang dipujiNya dalam firman-Nya:
” … Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yangbanyak bersyukur. (al-Isra’: 3)
Dan Ibrahim bapak para nabi dan umat Islam ketika dipuji olehm Allah SWT:
“(lagi) mensyukuri nikmat-nikmat Allah , Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl: 121)
Dan juga nikmat-Nya yang diberikan kepada nabi Dawud dan nabi Sulaiman,
“…Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah . Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba’: 13)
Dan juga dikisahkan tentang Sulaiman a.s. yang berkata ketika dia telah mendengar perbincangan yang dilakukan oleh semut.
“… Ya Tuhan, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku…” (an-Naml:19)
Begitu pula kisah tentang Yusuf a.s.
“… Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telahmenganugerahkan kepadaku, sebagian kerajaan dan telahmengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi…” (Yusuf:101)
Dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada rasul-Nya yang terakhir.
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (ad-Dhuha:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)
Serta kenikmatan yang diberikan-Nya kepada para sahabatRasulullah saw.
“Dan ingatlah hai para muhajirin ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di maka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (al-Anfal: 26).

Rukun dan Wajib Haji

Rukun Haji

Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam Ibadah Haji.Jika tidak dikerjakan maka Hajinya tidak syah dan tidak bisa diwakilkan atau bayar dam


Rukun Haji Arti
Ihram Pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat

Wukuf di Arafah Berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah

Tawaf Ifadah Mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah

Sa'i Berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah

Tahallul Bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i

Tertib Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal



Wajib Haji

Wajib Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan padaIbadah Haji, jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda) atau diowakilkan
Wajib Haji Keterangan
Niat Ihram Dilakukan setelah berpakaian Ihram
Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tgl 9 Zulhijah Dalam perjalanan dari Arafah ke Mina
Melempar jumroh Aqabah Pada tanggal 10 Zulhijah
Mabit di Mina Pada hari Tasyrik (11-13 Zulhijah)
Melempar jumrah Ula, Wustha dan Aqabah Pada hari Tasyrik (11-13 Zulhijah)
Tawaf Wada Melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah
Meninggalkan perbuatan yang dilarang saat Ihram ---

Menjaga Kesehatan Kala Naik Haji

Cuaca dingin dan kering perlu diwaspadai para anggota jemaah haji yang akan dan sedang berada di Tanah Suci. Semangat dan kekhusyukan beribadah sering kali membuat orang lupa untuk menjaga stamina sehingga bisa merugikan perjalanan ibadah itu sendiri.
Saat ini Arab Saudi memasuki puncak musim dingin. Diperkirakan suhu di Mekkah dan Jeddah mencapai 14 derajat Celsius, bahkan di Madinah bisa 6 derajat Celsius.
Dalam kondisi udara dingin, umumnya orang mengurangi minum karena khawatir harus sering ke kamar mandi. Kecenderungan ini, menurut Anna Uyainah ZN—ahli penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo— kurang tepat. Pasalnya, udara dingin dan kering membuat penguapan tubuh meningkat. Tanpa pasokan cairan yang cukup, tubuh akan mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan sehingga tubuh rentan mengalami gangguan kesehatan. Untuk itu, jemaah haji dianjurkan banyak mengonsumsi air minum atau jus buah.
Sering sebagai upaya menahan dingin orang mengonsumsi kopi atau rokok. Padahal, kopi meningkatkan diuresis, yaitu pengeluaran air kemih, yang justru mendorong terjadinya dehidrasi. Adapun rokok mengurangi aliran darah ke perifer atau permukaan tubuh sehingga tubuh mudah terserang dingin. Saat ini Arab Saudi mengenakan denda 200 real kepada orang yang ketahuan merokok di tempat umum.
Banyak cairan
Mengonsumsi banyak cairan otomatis meningkatkan frekuensi ke kamar mandi. Anna menganjurkan jemaah haji untuk tidak menahan kencing karena hal itu bisa menimbulkan infeksi saluran kemih.
"Kalau khawatir mengenai keamanan di tempat umum atau di masjid, mintalah ditemani atau pilih toilet yang ramai," saran Anna.
Hal lain yang dicatat Anna— dari lima kali mendampingi perjalanan jemaah haji dalam Tim Kesehatan Haji Indonesia—adalah kecenderungan jemaah untuk mengabaikan asupan makanan bergizi karena lebih memprioritaskan membeli oleh-oleh. Hal ini dinilai kurang tepat. Cuaca yang kurang bersahabat, kerumunan banyak orang dengan pelbagai risiko penularan penyakit, serta kegiatan fisik dalam ibadah membuat tubuh memerlukan energi dan gizi cukup untuk mempertahankan kebugaran dan kesehatan. Anna menganjurkan jemaah makan makanan bergizi dan buah, kalau perlu ditambah susu dan suplemen untuk menjaga kesehatan.
Catatan Subdirektorat Haji Departemen Kesehatan menunjukkan, penyakit terbanyak selama haji tahun 2005 adalah penyakit THT, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, penyakit saluran cerna, penyakit otot dan tulang, penyakit jiwa, penyakit saluran air seni, penyakit endokrin, serta penyakit karena udara dingin.
Untuk meminimalkan kejadian penyakit, jemaah haji sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan yang diwajibkan. Jika ada dana lebih, disarankan melakukan pemeriksaan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, mereka yang berusia di atas 50 tahun dianjurkan melakukan pemeriksaan EKG dan rontgen untuk mendeteksi adanya gangguan jantung dan pembuluh darah serta paru.
Yang memiliki gangguan kesehatan sebaiknya membawa obat-obatan dalam jumlah cukup. Jika mengalami gangguan kesehatan saat menunaikan ibadah, jangan segan untuk berobat, baik ke dokter kloter, dokter maktab, klinik sektor, maupun Balai Pengobatan Haji Indonesia. Untuk gangguan kesehatan yang berat, penderita akan dirujuk ke rumah sakit di Arab Saudi. Semua pelayanan kesehatan itu bisa didapatkan secara cuma-cuma karena jemaah haji dicakup asuransi kesehatan.
Jenis penyakit THT yang umum diderita adalah flu dan radang tenggorokan. Penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit jantung koroner, gagal jantung karena kecapekan, serta stroke. Penyakit paru yang umum terjadi adalah tuberkulosis, pneumonia (radang paru), penyakit paru obstruktif kronik, dan asma. Penyakit saluran cerna umumnya gastritis (radang lambung) dan diare. Penyakit otot dan tulang adalah nyeri/ngilu sendi dan rematik. Penyakit jiwa umumnya berupa depresi akibat tekanan kegiatan fisik yang cukup berat pada situasi dan kondisi yang berbeda dari keseharian serta skizofrenia. Penyakit endokrin adalah diabetes.
Suhu dingin bisa memengaruhi fungsi jaringan dan sirkulasi darah. Penelitian Anna mengenai dampak musim dingin pada jemaah haji Indonesia daerah kerja Madinah tahun 2003 menunjukkan, gangguan sendi yang menyerang jemaah haji adalah nyeri sendi, kaku sendi, nyeri pergerakan, dan bengkak sendi. Selain itu, udara dingin bisa menimbulkan mimisan, gatal-gatal pada kulit, kram, nyeri otot, kulit bersisik, bibir dan tumit pecah-pecah.
Untuk mencegah sengatan dingin, jemaah haji disarankan mengenakan pakaian tertutup dan hangat yang dapat menghindarkan dari paparan udara dingin. Kenakan masker yang dibagikan, berupa kain kasa yang menutup hidung sampai mulut. Sebaiknya kain kasa dibasahi dengan air dan diperas sebelum dikenakan. Kelembaban kain kasa mampu menyaring udara dingin agar tidak terlalu tajam.
Krim pelembab
Gunakan krim pelembab, misalnya vaselin, secara rutin pada bibir dan tubuh untuk menghindari bibir dan kulit kering dan pecah-pecah. Jangan mandi terlalu sering atau menggosok tubuh berlebihan karena sel epitel kulit akan mengelupas sehingga mudah terserang dingin. Jika terserang gatal-gatal, harus segera mengenakan selimut atau baju lebih hangat. Gatal jangan digaruk karena bisa membuat sel kulit makin tipis.
Sengatan dingin bisa menyebabkan kulit pucat, dingin, kram, kaku otot, bahkan mati rasa (baal). Keadaan beku jaringan tubuh akibat terpapar udara dingin dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Penanganan dapat dilakukan sendiri jika gejala masih ringan. Penderita dibawa masuk ruangan, jika mungkin ada penghangatnya. Baju yang basah dilepas, diganti dengan yang kering. Penderita diberi selimut hangat dan makanan serta minuman hangat. Bagian yang mati rasa direndam dengan air hangat (37-40 derajat Celsius) atau dikompres air hangat sekitar 30 menit agar jaringan yang membeku bisa mencair. Jangan menggunakan botol air panas atau menggosok daerah yang membeku karena dapat merusak jaringan.
Selama ibadah haji, demikian Anna, sebaiknya jemaah mengonsumsi makanan yang cukup dan bergizi. Jangan mengonsumsi makanan yang merangsang lambung serta minuman bersoda, menghindari udara dingin dengan tidak melakukan kegiatan yang tidak perlu di ruang terbuka.
"Jangan pulang-balik tempat penginapan-masjid setiap habis shalat, terutama saat melaksanakan shalat arbain di Madinah yang udaranya bisa sangat dingin saat ini. Shalat dzuhur bisa disambung dengan ashar, baru balik ke penginapan. Kemudian shalat maghrib bisa disambung isya," kata Anna.
Hal yang perlu diperhatikan adalah stres yang bisa memicu kambuhnya pelbagai penyakit, dari asma sampai gangguan jantung dan diabetes.
Anna mengisahkan, ada seorang bapak yang setiap hari ke klinik karena asmanya kambuh. Setelah ditelusuri, ternyata bapak itu merasa ditinggalkan istrinya setiap kali shalat di masjid. Istrinya beralasan, hal itu untuk melindungi suaminya yang sakit-sakitan. Setelah diberi pengertian bahwa shalat di masjid juga perlu untuk suaminya dan sang istri bersedia mendampingi, asma bapak tersebut tidak pernah kambuh lagi.
Kesiapan mental dan pemahaman akan kesehatan perlu untuk menjamin kelancaran ibadah haji. Dengan kesehatan yang optimal, kerinduan untuk mencapai haji mabrur tentu lebih mudah terlaksana. (Atika Walujani M)

Pantangan diwaktu ber Ihram

Tanya :

Kami ingin sekali mengetahui apa saja pantangan-pantangan di dalam berihram?

Jawab :

Pantangan-pantangan ihram ialah hal-hal yang tidak boleh dilakukan disebabkan ihram, atau hal-hal yang haram dilakukan disebabkan telah berihram, yaitu terdiri dari dua macam:

Pertama, pantangan-pantangan di saat berihram dan tidak berihram, yaitu yang disyaratkan di dalam firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja-kan haji maka tidak boleh rofats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah: 197).
Kata “fusuq” (kefasikan) pada ayat tersebut adalah umum mencakup kefasikan di saat ihram dan di luar ihram.

Kedua, adalah pantangan-pantangan khusus yang disebabkan ihram, yaitu apabila seseorang dalam keadaan ihram maka ia tidak boleh melakukan pantangan-pantangan tersebut, namun jika ihramnya selesai ia boleh melakukannya.
Di antara pantangan (larangan) ihram itu ialah melakukan hubungan suami-istri (jima’) dan itu merupakan larangan yang paling berat dan paling besar dosanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji maka tidak boleh rofats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al-Baqarah: 197).
Yang dimaksud “Rofats” pada ayat ini adalah jima’ dan segala pengantarnya. Apabila seseorang melakukan persetubuhan sebelum melakukan tahallul awal di waktu berhaji, maka mengakibatkan lima perkara, yaitu:

Pertama: Ia berdosa.
Kedua: Seluruh rangkaian ibadah hajinya batal.
Ketiga: Wajib meneruskan ibadah haji yang sedang ia lakukan.
Keempat: Wajib membayar fidyah, yaitu menyembelih seekor unta dan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin.
Kelima: Wajib mengqadha (melakukan haji kembali) pada tahun berikutnya.

Itulah beberapa akibat buruk yang harus dihindari oleh setiap orang beriman di dalam melakukan ibadah haji dan harus dijauhi.
Termasuk pantangan juga adalah bercumbu dengan syahwat, mencium, memandang dengan nafsu birahi dan segala sesuatu yang dapat membangkitkan nafsu syahwat (pengantar jima’), karena hal-hal tersebut dapat mengantar kepada persetubuhan.
Termasuk pantangannya adalah mencukur rambut kepala, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya.” (Al-Baqarah: 196).
Mencukur bulu anggota tubuh lainnya dan memotong kuku juga oleh para ulama dikatagorikan dalam hukum mencukur kepala.
Pantangan lain juga adalah melangsungkan akad nikah; Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,
لاَ يَنْكِح الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحْ وَلاَ يَخْطُب.
“Orang yang sedang ihram itu tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh melamar.”( Dikeluarkan oleh Muslim (no. 41) dalam kitab An-Nikah )

Pantangan yang lain adalah melamar (meminang). Seorang yang sedang ihram tidak boleh melamar wanita, baik ihramnya itu adalah ihram haji ataupun ihram umrah.

Termasuk pantangan juga adalah membunuh binatang buruan; Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan sedangkan kamu dalam keadaan ihram.” (Al-Maidah: 95)

Pantangannya juga adalah menggunakan wangi-wangian sesudah berniat ihram, baik pada tubuh, pakaian, tempat makanan atau tempat minuman. Jadi, seseorang yang sedang ihram tidak boleh memakai wangi-wangian dalam bentuk apa pun, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah bersabda tentang lelaki yang meninggal karena jatuh dari untanya, لا تحنطوه (Jangan kamu mengoleskan wangi-wangian padanya.)( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1265, 1266) dalam kitab Al-Jana’iz, Muslim (no. 93, 94) dalam kitab Al-Hajj )

Hanuth adalah berbagai bahan wangi-wangian yang dioleskan pada tubuh janazah di saat dikafankan. Adapun bekas atau sisa bau farfum yang dipakai sebelum berihram itu tidak mengapa dan tidak wajib dihilangkan. Aisyah Radhiallaahu anha pernah menuturkan, “Aku pernah mengoleskan farfum pada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berniat ihram.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1539) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 33) dalam kitab Al-Hajj. Lafazh tersebut adalah lafazh Muslim ) Dan Aisyah mengatakan, “Aku masih melihat bekas (plek, warna) farfum kasturi pada sendi-sendi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam di saat beliau sedang dalam keadaan ihram.( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1538) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 39) dalam kitab Al-Hajj )

Pantangan lainnya adalah memakai gamis (kemeja atau yang serupa), celana, surban dan sepatu bagi kaum laki-laki. Demikianlah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan jawabannya ketika ditanya tentang pakaian apa yang dipakai oleh lelaki yang sedang ihram? Maka sabdanya:
لاَ يَلْبِسُ الْقَمِيْصَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ الْخَفَافَ، إِلاَّ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ السَّرَاوِيْلَ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخَفَّيْنِ.
“Tidak boleh memakai gamis, celana, jaket, surban dan sepatu, kecuali bagi orang yang tidak mempunyai kain, maka ia boleh memakai celana, dan orang yang tidak mempunyai sandal maka boleh memakai sepatu.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1542) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 1) dalam kitab Al-Hajj )

Apa pun yang semakna dan searti dengan pantangan-pantangan tersebut di atas maka hukumnya adalah sama dengannya, seperti kaos, kaos oblong, peci, baju misylah, jas dan lain-lain adalah termasuk dalam katagori yang tertera di dalam nash hadits di atas dan hukumnya pun sama.
Adapun jam tangan, cincin, alat bantu dengar, kaca mata, ikat pinggang yang mempunyai kantong tempat menyimpan uang dan benda berharga lainnya, tidak termasuk dalam katagori pantangan, baik secara nash ataupun secara substansi. Maka barang-barang tersebut boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram.

Perlu diketahui bahwa banyak orang awam yang salah mema-hami perkataan para ulama: ”Orang yang berihram tidak boleh memakai pakaian yang berjahit”. Mereka memahami bahwa yang dimaksud “pakaian yang berjahit” adalah setiap kain yang mempunyai jahitan. Maka dari itu banyak mereka yang menanyakan tentang hukum memakai ikat pinggang yang berjahit (biasanya berwarna hijau), kain ihram yang bertambal jahitan, sandal yang ada jahitannya dan hal lain yang serupa, dengan anggapan bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama tentang pakaian berjahit adalah pakaian apa saja yang mempunyai jahitan; padahal maksud para ulama bukan demikian, maksud mereka adalah memakai pakaian yang menyelubungi tubuh, sebagaimana pakaian kita sehari-hari. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam di atas (yang artinya): “Jangan memakai kemeja, celana ...”. Jadi, kalau seseorang (yang berihram) berselimutkan gamisnya tanpa mengenakan-nya, maka tidak mengapa baginya; dan kalau ia menjadikan gamisnya sebagai sarung ihramnya yang ia lipatkan pada anggota badan antara pusat dan lututnya juga tidak mengapa, karena yang demikian itu tidak dianggap memakai gamis.

Termasuk pantangan di dalam berihram juga adalah menu-tup kepala bagi laki-laki, yaitu tutup kepala yang menempel, seperti peci, surban imamah (kain yang melilit di kepala) dan ghuthrah (kain penutup kepala biasa orang Saudi, pent).
Adapun bernaung di bawah payung, atau di bawah atap kendaraan, atau pakaian yang di jadikan payung di atas kepala maka boleh-boleh saja, sebab yang diharamkan itu adalah menutup kepala bukan menaunginya. Ada hadits shahih dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang bersumber dari Ummi Hushain Radhiallaahu anha beliau menuturkan, “Aku pernah melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sedang mengendarai untanya, sedangkan Usamah memegang tali kendali unta beliau dan Bilal menaungi (memayungi) Rasulullah dengan pakaiannya. Di dalam ungkapan lain ia menuturkan: “Memayungi Rasulullah dari terik panas dengan kainnya hingga Rasulullah melontar Jumrah ‘Aqabah”.( Dikeluarkan oleh Muslim (no. 312) dalam kitab Al-Hajj )

Tidak diharamkan bagi orang yang sedang ihram membawa tas kopernya di atas kepala, karena yang demikian itu tidak dimaksud-kan untuk menutup kepala, melainkan membawa koper.

Pantangan lainnya ialah bercadar bagi wanita, karena cadar merupakan pakaian untuk wajah. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang perempuan mengenakan cadarnya di saat dalam keadaan berihram.( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1838)
dalam kitab Jaza’ Ash-Shaid ) Jadi, yang dibenarkan bagi wanita di saat berihram adalah membuka wajah, kecuali kalau di sekelilingnya ada laki-laki yang bukan mahram-nya. Apabila di sekelilingnya ada laki-laki bukan mahramnya maka ia wajib menutup wajahnya, dan tidak mengapa kain penutupnya menempel pada kulit mukanya.

Pantangan lain juga adalah memakai sarung tangan, baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Jadi, perempuan dan laki-laki jangan memakai sarung tangan di waktu sedang berihram, karena sarung tangan itu termasuk pakaian, sama dengan sepatu (khuff) bagi laki-laki.

( Fatwa-Fatwa Haji oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Petunjuk Pelaksanaan Haji dan Umrah

I. CARA UMRAH

1. Jika seorang muslim hendak berihram untuk umrah maka dia harus melepaskan seluruh pakaiannya, mandi sebagaimana ia mandi junub lalu memakai minyak wangi dan semacamnya, lalu dioleskan di kepala dan jenggot.

2. Setelah mandi, memakai pakaian ihram, kemudian sholat jika telah masuk waktu sholat fardhu, bila tidak, maka ia langsung ihram (niat) untuk umrah tanpa sholat, dan mengucapkan: lalu bertalbiyah:
“Saya memenuhi panggilan-Mu ya Allah, saya memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, saya memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian, nikmat dan kerajaan itu adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Pria bertalbiyah dengan mengeraskan suara, sedang wanita mengucapkannya sekedar didengar oleh orang yang ada di sebelahnya.

3. Bila orang yang ingin ihram itu khawatir adanya gangguan yang menghalangi kesempurnaan umrahnya, maka sebaiknya mengucapkan syarat ketika membaca niat ihram yang artinya :
“Jika aku tertahan oleh suatu rintangan maka tempat dan waktu tahallulku adalah di mana saya tertahan.”
Karena ketika dia mengucapkan syarat ini kemudian terjadi sesuatu yang menghalanginya menyempurnakan umrahnya maka dia bisa bertahallul tanpa membayar tebusan.

4. Disunnahkan baginya ketika memasuki Mesjid Haram untuk mendahulukan kaki kanan sambil membaca: (yang artinya) :
“Dengan nama Allah, sholawat dan salam untuk Rasulullah. Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu rahmat-Mu. Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya Yang Mulia serta dengan kekuasaan-Nya yang qodim (tidak berawal) dari setan yang dirajam.”
Kemudian menuju Hajar Aswad untuk memulai thawaf, mengusapnya dengan tangan kanan lalu menciumnya, bila sulit menyentuhnya dengan tangan, cukup menghadap ke arah Hajar Aswad lalu memberi isyarat kepadanya tanpa mencium tangan. Dan sebaiknya tidak berdesak-desakan sehingga tidak mengganggu orang lain terutama orang-orang lemah.
Doa yang dibaca ketika menyentuh Hajar Aswad: (artinya) :
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah! Dengan beriman kepada-Mu, membenarkan Kitab-Mu (Al-Qur’an), setia kepada janji-Mu dan dengan mengikuti Sunnah Nabi-Mu (aku berthawaf di sekeliling Ka’bah ini).”

5. Kemudian memutar ke sisi kanan dan menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya. Bila telah sampai pada Rukun Yamani, ia mengusapnya tanpa mencium, tetapi bila sulit maka tidak perlu berdesak-desakan.
Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad membaca ayat (Q.S. Al-Baqorah: 201), yang artinya :
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dan setiap melewati Hajar Aswad, memberi isyarat dengan tangan dan bertakbir. Selebihnya ia membaca dzikir, doa atau baca Al-Qur’an. Perintah thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan Dzikrullah.

6. Dalam thawaf qudum ini (thawaf yang pertama kali dilakukan ketika tiba) disunnahkan bagi laki-laki untuk mengerjakan dua perkara berikut ini:
Pertama: Al-Idhthiba’ sejak mulai thawaf hingga selesai. Adapun bentuknya adalah meletakkan bagian tengah selendang ihram di bawah ketiak kanan, dan kedua ujungnya disampirkan di atas bahu kiri. Setelah selesai thawaf, selendang itu diletakkan kembali seperti semula, sebelum melakukan sa’i. Karena Al-Idhthiba’ hanya pada waktu thawaf saja.
Kedua: Lari-lari kecil pada 3 putaran pertama, adapun 4 putaran terakhir hanya berjalan biasa saja.

7. Setelah menyelesaikan thawaf 7 putaran lalu menuju maqom Ibrahim sambil membaca ayat: (Q.S. Al-Baqorah: 125), yang artinya :
“Dan jadikanlah sebahagian makam Ibrahim tempat sholat.”
Kemudian sholat dua raka’at di belakangnya jika memungkinkan, kalau tidak maka dia boleh melaksanakan sholat di mana saja di dalam mesjid. Dalam raka’at pertama setelah membaca Al-Fatihah membaca surah Al-Kafirun dan pada raka’at kedua membaca surah Al-Ikhlas.

8. Kemudian menuju tempat sa’i, setelah dekat ke bukit Shafa, lalu membaca ayat: (Q.S. Al-Baqorah: 158), yang artinya :
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Lalu membaca:
“Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah.”
Kemudian naik ke bukit Shafa hingga melihat Ka’bah, lalu menghadap kepadanya sambil mengangkat tangan, memuji Allah dan memohon doa kepada-Nya dengan doa yang disenangi.
Adapun doa yang disenangi Rasulullah SAW: yang artinya :
“Tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Pemilik kerajaan dan pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah semata, Dia melaksanakan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan mengalahkan bala tentara musuh sendirian.”
Doa ini dibaca sebanyak tiga kali kemudian berdoa di sela-selanya dengan doa yang disenangi.
Kemudian turun dari bukit Shafa menuju Marwah, bila sampai ke tanda hijau, berlari secepatnya sesuai dengan kemampuan tanpa mengganggu orang lain. Bila sampai pada tanda hijau kedua ia kembali berjalan sebagaimana biasa hingga sampai ke bukit Marwah dan menaikinya, lalu menghadap kiblat, mengangkat tangan dan berdoa dengan doa yang disenangi. Kemudian turun dari Marwah kembali menuju Shafa, berjalan kaki di tempat berjalan kaki dan berlari di tempat berlari. Ketika sampai ke bukit Shafa, ia melakukan apa yang ia lakukan di awal mula dengan membaca doa dan dzikir. Demikian pula ketika sampai ke bukit Marwah, hingga sempurna 7 putaran. Dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali putaran dan kembali dari Marwah ke Shafa dihitung satu kali putaran. Ketika sa’i membaca apa saja yang disenangi seperti dzikir, doa dan bacaan Al-Qur’an.
Bila ia telah melengkapi sa’inya 7 kali putaran, bagi laki-laki mencukur habis atau memendekkan rambut dan bagi perempuan memotong setiap ujung kelabang rambutnya sepanjang satu ruas jari-jari.
Mencukur rambut hendaklah merata ke seluruh kepala, demikian pula ketika memangkas pendek harus merata. Mencukur gundul lebih baik dari sekedar mencukur pendek, karena Rasulullah SAW mendoakan orang-orang yang mencukur gundul tiga kali dan hanya sekali mendoakan orang-orang yang memangkas pendek. Kecuali bila waktu pelaksanaan haji sudah dekat yang tidak memungkinkan rambut bisa tumbuh cepat. Maka yang paling baik ia lakukan adalah memotong pendek, agar bisa dipotong gundul pada waktu haji.
Dengan amalan ini maka selesailah umrahnya.

Alih Bahasa dan Layout oleh:
H. Sholahuddin Abdul Rahman Yajji, Lc