Jumat, 29 Mei 2009

Gladi Resik Kematian

Desember 22, 2006 pada 10:58 am (lembar jumat)

Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan haji atau umrah, lalu mati (di perjalanan), maka baginya pahala haji dan umrah hingga hari kiamat. (Al-Hadits)

Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, kita patut bersyukur menyaksikan semangat kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia yang akan berziarah ke Tanah Suci yang tidak menunjukkan tanda-tanda kejenuhan. Setiap tahun tidak kurang dari dua setengah juta manusia bertafakkur di padang pasir Arafah, di bawah cakar dan sengat matahari. Kemudian mereka bergerak, dan bola api itu pun tenggelam. Manusia sebanyak itu merayap, di atas roda karet, alas kaki, seperti hamparan karpet dari kaki langit ke kaki langit yang lain, beringsut-ingsut perlahan. Manusia bagai arus benang halus di lautan karpet yang menggelombang laksana senja kala itu, demikian Taufiq Ismail dalam pengantarnya untuk buku Orang Jawa Naik Haji, gubahan Haji Danarto.
Taufiq membayangkan manusia di kejauhan bagaikan secarik benang pintalan yang beringsut dalam samudera benang di hamparan karpet yang bergerak dari Arafah menuju Muzdalifah, yang disebutnya sebagai gladi resik menyongsong Hari Kiamat. Seolah Allah Yang Maha Besar itu bertindak selaku sutradara untuk sebuah adegan massal yang disebut-sebutnya sebagai yang paling kolosal yang tak terdapat di bagian manapun di dunia ini, yang hanya bisa digerakkan atas kuasa dan kehendak Allah semata. Dalam perhelatan akbar itu, manusia berperan sebagai benang warna-warni yang seketika berubah menjadi lautan kapas.
Manusia yang kapas itu, masih mengikuti Taufiq, luluh dan lumat di hamparan terik padang pasir Arafah, terseruk-seruk di masâa dan tersungkur sujud, menangis di atas pualam Masjidil Haram. Dalam adegan kolosal ini tidak ada lagi dialog bijak bangsawan, kata mutiara sang pelajar, jimat pusaka nenek moyang, senjata sakti hasil pertapa kesatria, kekuasaan ghaib dewa-dewa. Semuanya sirna. Dewa-dewa mampus. Gerombolan hikayat nenek moyang dan angan-angan fantastik mati sudah, ditusuk dengan talbiah, dicincang dengan zikir. Manusia yang kapas itu menyerukan talbiah dalam koor panjang, laa-syariikalak! Dikau tanpa sekutu, Dikau tiada berbagai kuasa!
Manusia yang kapas itu menemukan kesejatian dirinya dalam berihram, kata Komaruddin Hidayat dalam sebuah artikelnya di Mingguan PESAN (2000). Karena, dengan berihram, katanya, kita dididik untuk melepaskan diri dari klaim-klaim superioritas, ketidaksamaan derajat, dan sebagainya. Kita berhadapan dengan Allah dalam keadaan polos, dan dengan kesadaran bahwa dunia ini memang sementara, tidak abadi, bahkan tidak lebih dari panggung sandiwara yang ditaburi cahaya gemerlapan, tetapi sebentar lagi akan berakhir dan layar harus ditutup. Pada saat itu, semua penonton pun pulang dalam kesunyian diri masing-masing, tanpa mengenakan pangkat dan jabatan. Semua kembali menghadap kepada-Nya dalam ketelanjangan sejati, tanpa membawa mobil pribadi, rumah megah, harta melimpah, istri nan cantik, dan anak yang manis-manis.
Mungkin inilah makna bahwa ibadah haji itu lambang egalitarianisme yang konkrit sebagaimana yang diisyaratkan Buya Syafi’i Ma’arif. Lihatlah misalnya, pakaian ihram yang dikenakan para jamaah haji itu semuanya sama, tidak peduli tuan raja ataupun rakyat jelata. Segala status sosial berguguran seiring pekik gemuruh takbir, tasbih dan tahmid yang dikumandangkan dengan penuh kekhusyukan dan kepasrahan. Kesombongan dipaksa mencair dalam rasa persatuan dan kesatuan yang terjalin selama perjalanan religius umat Islam dari seluruh pojok bumi itu. Ibadah haji mengajak orang untuk tidak berbangga-bangga dengan asal-usul keturunan, kekayaan, dan simbol-simbol fatamorgana dunia.
Sebagian orang mungkin tersentak hati ketika mengenakan pakaian ihram. Pikiran dan imajinasi akan membayangkan bagaimana suatu saat nanti akan mengenakan kain kafan, atau ketika dikafani. Bahkan, begitu transendennya pengalaman batin saat berpakaian ihram itu, di antara jamaah ada yang merasa satu kakinya seperti meninggalkan dunia melangkah ke alam akhirat. Dalam tamsil Komaruddin Hidayat, ziarah religius haji adalah suatu metode yang secara luar biasa mampu menyentuh kesadaran eksistensial manusia, bahwa dunia ini adalah tempat indekost untuk menyemai benih-benih amal shalih sebagai bekal iman kita demi kehidupan yang lebih abadi.
Kesadaran serupa ini seringkali ditemukan di padang Arafah, tatkala manusia luluh dalam kesejatiannya yang lemah. Ketika itulah manusia yang kapas dan layu itu, mengadukan kesejatiannya kepada Allah dalam larutan kesyahduan padang pasir Arafah yang menyengat. Manusia-manusia itu membentangkan ketololannya di hadapan Allah, mengadukan kedhaifannya di pangkuan Ilahi. Sebagaimana pengakuan Haji Danarto: tidak ada yang perlu hamba pertahankan di dunia ini, suatu tempat yang tidak cocok, suatu tempat yang bikin gerah, peluh dan air mata hamba, sama derasnya berlelehan.
Para ulama mengatakan bahwa ketika melaksanakan ibadah haji, sebenarnya kita meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan tetangga untuk pergi ke Baitullah. Haji pada hakikatnya merupakan gladi resik (latihan) untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian, karena kita meninggalkan tanah air, keluarga, tetangga, harta benda, dan semua atribut duniawi lainnya dengan satu niat: menemui Allah. Kita ingin bersimpuh di Rumah-Nya yang suci, dan kita pun ingin membasahi pipi kita dengan tangisan permohonan ampun dari Allah. Karena kita terlahir di dunia fana ini, maka jauh di lubuk hati kita sebenarnya mempunyai kerinduan untuk kembali ke tanah air tempat asal muasal pertama kita yang sejati, muara hakiki kehidupan, Allah Al-Mashir (Tempat Kembali).
Haji merupakan cara berangkat menuju Tuhan dengan sukarela. Menurut Ibn Arabi, dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, kita akan kembali kepada Allah dengan cara yang berbeda. Ada yang kembali dengan cara terpaksa, yang disebut ruju’ idhthirari. Setuju atau tidak, kita semua akan dipanggil keharibaan-Nya, dan itulah yang kita sebut mati. Ada pula cara kembali yang lain, yakni kita disuruh kembali kepada Allah dengan cara sukarela, yang disebut ruju’ ikhtiyari. Kembali seperti inilah yang dilakukan oleh para jamaah haji.
Akhirnya, ada sebuah doa yang biasa diamalkan setiap orang yang hendak menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Doa itu disunatkan untuk dibaca sesudah shalat fardhu di bulan Ramadhan, berbunyi: Ya Allah, karuniakanlah kepada kami pada tahun ini, kesempatan untuk berhaji ke Rumah-Mu yang suci. Pada tahun ini, dan kalau bisa setiap tahun, selama Engkau berikan kepadaku kemudahan, kesehatan, dan kelapangan rezeki. Dan jangan sampai kami ini tidak sempat menjenguk tempat-tempat yang mulia. Dan janganlah kami tidak diberi kesempatan untuk berziarah ke kuburan Nabi-Mu SAW. Jadikanlah dalam apa yang Kau tetapkan pada Lailatul Qadar, berupa qadar yang tak bisa diubah atau diganti. Tuliskanlah kami, di antara orang-orang yang berhaji ke Rumah-Mu yang suci, yang hajinya mabrur, yang saâinya masykur, yang diampuni dosa-dosanya, yang dihapuskan kesalahan-kesalahannya.
Itulah doa yang kalau dibaca, lalu kita meninggal dunia sebelum sempat naik haji lantaran belum ada rezeki, maka kita akan dihitung Allah sebagai orang yang berziarah ke tanah suci. Doa itu sekaligus sebagai penghibur bagi kita yang ditinggalkan yang belum dapat menunaikan ibadah haji. Sedangkan bagi mereka yang telah diberi kesempatan menginjakkan kaki di tanah suci, kita berharap mereka akan memperoleh predikat haji mabrur yang tidak hanya sekedar untuk mengejar surga yang bersifat eskatologis, namun lebih daripada itu juga harus mempunyai dampak ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’.
Haji pada dasarnya adalah perjalanan ruhani dari rumah-rumah kotor yang selama ini mengungkung kita menuju Rumah Allah yang suci supaya bisa beristirahat untuk melakukan refleksi batin. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan). Haji mabrur bukan hanya dzikir, melainkan juga transformasi spiritual untuk berhijrah dari keangkuhan diri menuju kesempurnaan iman yang sebenar-benarnya. Satu hal yang prinsipil adalah, jangan sampai kita terjatuh pada praktik hedonisme religius, yaitu melakukan ibadah haji hanya untuk kesenangan pribadi saja. Bila semua rangkaian manasik haji itu telah berhasil kita lalui dengan penuh keikhlasan, berarti haji kita mabrur. Semoga saudara-saudara kita yang akan menunaikan ibadah haji, hajinya mabrur, dan semoga Allah memberi kesempatan untuk memnunaikan ibadah haji bagi saudara-saudara kita yang belum mampu menunaikannya.

Fathorrahman, S.FilI.
Mahasiswa Islamic Research MSI-PPs UII Yogyakarta