Jumat, 29 Mei 2009

Haji

H A J I
Oleh : Zuhairi Misrawi
A. Pendahuluan
"Time Is Money", begitulah ungkapan orang Barat, namun tidak sesuai dengan pandangan hidup orang muslim, karena baginya waktu sepenuhnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam banyak hal, Allah memerintahkan agar menggunakan sepenuhnya kehidupan untuk beribadah "wama kalaqtul jinna wal insa illa liya'buduuni" (Dan tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, kecuali
untuk beribadah kepada-Ku). Karena lengah terhadap waktu, manusia sering terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kerugian yang tak terbayar. Ada sebuah peribahasa Arab yang mengatakan, Waktu laksana pedang, jika kamu tidak memenggalnya, niscaya ia memenggalmu. Islam melihat waktu sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia, sehingga ajaran-ajarannya diharapkan
dapat menjadi sebuah agenda tahunan umat Islam dalam membentuk kepribadian yang utuh.
Menjelang bulan Dzulhijjah, umat Islam di seantero dunia memusatkan perhatiannya ke Al- Baitu al-Haram untuk menunaikan rukun Islam kelima, serta berziarah ke makam Rasulullah sebagai sebuah upaya untuk mengingat risalah yang telah melahirkan benih-benih keberhasilan, sehingga Islam masih bercokol di alam ini. Betul-betul merupakan sebuah pertemuan batin dengan sang kekasih. Haji dalam Islam memiliki nilai plus, yaitu dengan terbitnya kepuasan jiwa dan perasaan semakin dekat dengan sang Pencipta. Perasaan dekat ini melebihi cintanya pada harta, tahta, keluarga dan saudara. Bahkan ketika seorang hamba menginjakkan kaki dari tempat tinggalnya menuju rumah Allah ( Baitullah), ia sudah berniat untuk bebas dari belenggu yang mengikatnya,
hatinya tunduk kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia merasa bahwa dunia dan isinya, luluh dan rapuh di hadapanNya. Dengan ungkapan Labbaika Allahumma Labbaika (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah), seorang hamba telah menancapkan bendera syukur atas karunia yang melimpah-ruah. Dan Maha Besar Allah atas seluruh karunia-Nya.
Haji sebagai rukun Islam terakhir, memiliki ciri khas, berbeda dengan rukun Islam yang lain. Haji adalah satu-satunya rukun yang memberikan julukan kepada orang yang telah menunaikannya dengan sebutan Haaj. atau "pak haji". Sebenarnya bukan itu saja tujuannya, tetapi lebih penting dari itu ialah melaksanakan kewajiban sebagai muslim/muslimah dan semoga menjadi haji
"Mabrur" yang pahalanya "Sorga". Dalam perintah pensyari'atan haji, Allah telah mengaturnya dalam sebuah tempat dan waktu tertentu. Ini tidak berlaku untuk rukun Islam lainnya. Ada sebuah ibadah yang dilakukan tanpa diatur oleh tempat dan waktu tertentu, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang hamba dapat melakukannya pada waktu pagi, siang, malam dan di
manapun berada. Begitu pula dalam melaksanakan shalat, puasa dan zakat, seorang hamba hanya terikat dengan waktu tertentu dan diperbolehkan melaksanakannya di mana saja, di masjid, pabrik, sawah, lapangan, rumah dan lain-lain.
Dalam pelaksanaan haji, seorang hamba tidak dapat melaksanakannya di rumah atau Grand Park Inggris, tapi hendaknya pergi ke Al-Baitu al-Haram, Mekah. Tidak sah baginya melaksanakan manasik haji setiap bulan, tapi harus pada bulan Dzulhijjah. Dari sini bisa dilihat, bahwa haji merupakan satu-satunya rukun Islam yang banyak menimbulkan kesulitan ( Masyaqqah ) terhadap
pelakunya. Tidak semua umat Islam mampu melaksana kannya, sehingga tak aneh kalau haji bagi beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi sebuah keistime waan dan standar kekayaan seseorang. Allah berfirman :
Artinya :
Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. ( Q. S. Ali Imran : 97 )
Ada sementara orientalis yang menyatakan keraguannya terhadap beberapa rukun haji bahwasanya murni dari Islam. Menurutnya segi yang dipermasalahkan itu memiliki nuansa penyembahan berhala. Sehingga bagi mereka ada persamaan antara ajaran Islam dengan agama lainnya itu. Maka mengetahui asal-usul dan hikmah haji merupakan sebuah upaya yang sangat perlu untuk memahami Islam secara originil dan sempurna.menyeluruh. Lebih dari itu agar pintu 'haji mabrur' semakin terbuka, bagi yang berniat menunaikannya semoga prediket itu benar- benar diperolehnya sebagai bekal hidup di akhirat kelak Amien..
B. Haji Sebelum dan Setelah Turunnya Islam
Haji dalam arti berziarah ke tempat tertentu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang disembah, merupakan tradisi masyarakat sejak zaman dahulu. Beberapa bangsa dan kabilah telah menjadikannya sebagai simbol untuk mengagungkan dan mensucikan persembahannya. Seperti masyarakat Mesir, Yunani, Jepang dan masyarakat kuno lainnya dengan menuju ke kuil-kuil, yang
mereka sucikan dan sakralkan. Setiap umat melakukan haji sesuai dengan
kepercayaan terhadap keagungan persembahannya. Pada waktu itu masyarakat berada dalam kegelapan, semakin rindu untuk menemukan Tuhan yang sebenarnya. Tradisi yang semacam ini terus berlanjut sehingga Allah Swt. mengutus nabi Ibrahim untuk membangun Ka'bah agar manusia tawaf di sekelilingnya sembari menyebut asma Allah Yang Maha Tinggi. Allah berfirman :
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail ( seraya berdo'a ); "Ya Tuhan kami terimalah dari kami ( amalan ), Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah: 127 )
Nabi Ibrahim memenuhi perintah Allah untuk meninggikan dasar-dasar ka'bah, lalu menyeru manusia untuk melaksanakan haji serta meletakkan keluarganya untuk menetap di Al-Baitu al- Haram.
Menurut Syeikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi dalam bukunya, Al-Hajju al-Mabrûr, bahwa pemahaman Al-Baitu al-Haram adalah Ka'bah, sebuah pemahaman yang tidak benar. Sebab Al-Baitu al-Haram adalah tempat yang di atasnya dibangun Ka'bah. Sedangkan Ka'bah adalah tanda yang menunjukkan tempat tersebut. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan Isma'il hanya meninggikan dasar-dasar-Nya. Sejak itu orang-orang Arab berbondong-bondong menunaikan haji untuk menyembah kepadaNya dengan tulus. Namun setelah beberapa abad kemudian, mereka merubah haji dan menggantikan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi Ibrahim, serta merta menyebarkan ajaran Syirik kepada Allah dengan mengangkat patung dan berhala ke punggung Ka'bah sehingga melilitnya. Mereka meminta pertolongan darinya seraya memotong
hewan dengan menyebut nama patung yang menjadi persembahannya. Bahkan mereka memperbaharui praktek haji menjadi sebuah tradisi tertentu yang sesuai dengan kehendak selera mereka. Melaksanakan tawaf di sekitar Ka'bah dengan badan telanjang, menahan diri mereka untuk makan lemak dan menghapus wukuf di Arafah. Orang-orang Arab saat itu memiliki kepercayaan, bahwa mereka berada di atas segalanya. Sebab kekuasaan terhadap Al-Baitu
al-Haram ada pada genggamannya. Mereka merasa memiliki derjat lebih atas dari pada bangsa-bangsa lain. sehingga mereka bergerak bebas membuat peraturan sendiri, hatta dalam hal yang berhubu-ngan dengan kekuasan Allah Swt. Na'udzubillahi min Dzalik.
Kegelapan masyarakat waktu itu membuktikan, bahwa sudah tiba saatnya diutus seorang Rasul yang dapat memperbaiki akhlak yang bobrok. Di tengah kebodohan orang-orang Arab, Allah mengutus Muhammad saw. untuk memperbaharui agama Ibrahim yang suci dan lurus. Allah berfirman : Artinya :
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sesungguhnya Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang yang shaleh ( Q.S. Al-Baqarah : 130 ).
Maka yang menjadi pijakan awal untuk mengem-balikan suasana kembali seperti zaman nabi Ibrahim dahulu, Rasulullah menanamkan nilai-nilai tauhid dalam jiwa mereka, kendatipun beliau dan para sahabat harus keluar dari Mekah. Dan berkat perjuangan yang gigih, Rasulullah akhirnya dapat mengembalikan haji seperti semulakala saat diturunkannya ayat-ayat yang menerangkan tentang hukum, waktu dan etika haji sebagai upaya untuk memperbaiki segala sesuatu
yang telah dirubah kaum jahiliyah. Kini dengan tenang umat Islam dapat melaksanakan perintah haji, dan Al-Baitu al-Haram kembali menjadi suci dan sempurna dari jamahan orang-orang yang
tidak berprikemanusiaan.
C. Haji, Menyahut Panggilan Nabi Ibrahim
Haji dalam Islam memiliki mata rantai sejarah yang runtut degan nabi Ibrahim a.s. Sehingga dalam banyak ayat, perintah haji selalu bergandengan dengan nabi Ibrahim dan keturunannya. Dalam sejarah pelaksanaan ibadah haji, beliau adalah sosok arsitek terkemuka dan sigap dalam menerima wahyu untuk disampaikan kepada umatnya. Dalam surat al-Hajj ayat 27 Allah memerintah nabi Ibrahim supaya mengumandangkan panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji. Walaupun panggilan tersebut di tengah padang pasir yang gersang, namun benar-benar mendapat sambutan luar biasa dari umat Islam, sehingga dapat dikatagorikan
sebagai ma'lûmun min al dîn bi al-dharûrah ( pengetahuan pada tingkat aksioma ). Tak ada ungkapan, "Saya tak mendengar perintah haji", dari pemulung hingga konglomerat dapat mendengar panggilan nabi Ibrahim a.s. Maka tak dapat dipungkiri lagi, persaingan untuk mendapat kesempatan melaksanakan haji cukup besar. Dan sungguh Maha besar Allah. swt.
Kalau dicerna kembali, ibadah yang tak dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat ini, ternyata mengisyaratkan, bahwa panggilan nabi Ibrahim a.s. memiliki nilai filosofis yaitu agar pikiran, perasaan dan hati setiap insan senantiasa menyebut ibadah haji. Kadangkala seseorang meninggal dan belum melaksana-kan haji, namun hatinya tetap menyatu dengan haji, di mana umat Islam menghadap kepada Al-Baitu al-Haram minimal lima kali sehari. Di samping itu, karena haji merupakan sebuah ibadah yang menuntut kemampuan lahir dan batin, sehingga harus dilakukan dengan persiapan yang matang. Untuk memperkuat panggilan nabi Ibrahim, umat Islam tidak akan dapat melupakan Maqam Ibrahim, sebuah batu di mana beliau berdiri di atasnya untuk
meninggikan dasar-dasar rumah Allah ( Baitullah ). Allah berfirman :
Artinya :
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah), niscaya ia aman.(Q.S. Ali Imran : 97 ). Menurut Syeikh Mutawalli Sya'rawi, Maqam Ibrahim merupakan tanda, bahwa beliau dalam melaksanakan perintah Tuhan dipenuhi dengan kecintaan yang mendalam, terbukti dalam kehendaknya untuk meninggikan dan memperindah Baitullah. Ini menandakan, dalam dirinya terdapat kebaikan yang tidak dimiliki umat lainnya. Dengan bekal sabar dan tawakkal kepada Allah, beliau dapat menyebarkan missi Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan mata terperanjat, setiap insan melihat keagungan Ka'bah. Betul-betul sebuah kreasi yang menakjubkan. Oleh karena itu disunatkan bagi mereka yang melaksanakan haji untuk sembahyang dua raka'at di depan Maqam Ibrahim sebagai tanda
penghormatan dan sekaligus menyahut panggilannya untuk beribadah kepada Allah tadharru'an wa khufyah (dengan penuh rasa tunduk dan takut).
C. Makna Haji
Untuk menjadi "haji mabrur", seseorang harus mengetahui makna haji, sebuah pengantar untuk mencapai sebuah titik optimal dan pahala berlipat ganda. Dalam banyak ayat, Allah Swt. memerintah umat manusia untuk mengerjakan perintahNya atas dasar ilmu dan hati ( ala ilmin wa bashirah). Dalam melaksanakan haji, seseorang tidak hanya datang ke Al-Baitu al Haram saja, namun harus siap melaksanakan syarat dan rukunnyadan kewajibannya. Kalau ketiga hal tersebut dilaksanakan dengan sempurna, niscaya pintu surga terbuka lebar-lebar baginya. Dalam buku " Ahkamu al-Hajj wa al-Umrah", Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi - Syaikh Azhar sekarang mangtatakan: bahwa haji secara resmi disyari'atkan bagi umat Islam pada tahun kesembilan setelah hijrah nabi Muhammad ke Madinah, menurut jumhur ulama. Lebih lanjut, menurutnya, haji secara bahasa berarti maksud ( Al-Qashdu). Sedang dalam istilah, haji adalah menuju Mekah
dalam waktu tertentu dengan niat tawaf di Al-Baitu al-Haram, sa'i di antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah serta melaksanakan seluruh manasik haji untuk mendekatkan diri pada Allah dan memperoleh ridla-Nya. Di sini dapat dipahami, bahwa penetapa haji sebagai syari'at agama benar-benar disusun secara sistimatis dalam waktu dan tempat tertentu. Sehingga dengan menyempurnakan rukun Islam kelima ini, telah terben tuk sebuah sosok baru untuk mengemban missi Tuhan di atas bumi.
Kewajiban muslim menunaikan haji bagi setiaap muslim adalah sekali saja seumur hidupnya.Prof. Dr. Yusuf Qardlawi dalam bukunya Fi Fiqh al-Awlawiyat, mengatakan, bahwa memberikan infak kepada fakir miskin lebih baik dari haji atau umrah yang kedua kalinya ( tathawwu'). Bahkan Fahmi Huwaidi dalam Koran Harian Ahram memaparkan, bahwa membantu Bosnia dari kemalangan dan tekanan musuh hukumnya lebih diprioritaskan dari pada haji. 1. Haji Menurut Al- Qur'an dan Al-Hadist Al-Qur'an dan sunnah merupakan sumber utama umat Islam untuk menentukan sikap dalam setiap aspek kehidupannya. Hampir bisa dikatakan, bahwa keberhasilan ulama-ulama terdahulu dalam melahirkan peradaban, tak luput dari hasil renungan mereka terhadap kedua sumber tersebut. Haji yang nota bene sebagai salah satu tiang agama Islam, seraca umum
dikupas oleh Al- Qur'an, bahkan salah satu suratnya bernama al-Hajj. Ini menandakan betapa pentingnya perintah ini untuk disampaikan dan dilaksanakan oleh umat Islam. Allah berfirman :
Artinya :
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah ( Q.S. Al-Baqarah : 196 ).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan umat Islam agar menunaikan haji secara sempurna sesuai dengan cara yang tertulis dalam Al-Qur'an dan dijelaskan secara rinci oleh sunnah. Hendaknya mereka melaksanaka ibadah haji hanya untuk Allah semata. Sebab pada zaman dahulu, kaum jahilyiah memahami haji sebagai wahana pertemuan, demontrasi, bermewah- mewahan dan menghadiri pasar saja. Lebih dari itu, agar mereka dapat mensucikan ibadah- ibadahnya dari
perkataan yang tidak enak hinggap di kuping, prilaku yang amoral, dan kemudian supaya tamak atas pahala dan ridlaNya.
Dalam Islam, waktu pelaksanaan haji merupakan salah satu faktor keabsahannya. Karena dalam beberapa ibadah memang sangat membutuhkan perhatian serius terhadap waktu. Dalam haji, Allah menentukan waktu pelaksanaannya secara tertentu saja, supaya tercipta sebuah etos kerja Islam
yang terorga nisir. Allah berfirman :
Artinya :
(Musim) haji adalah pada beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata yang menim bulkan birahi, berbuat fasik dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, sesungguhnya sebaik- sebaik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal ( Q. S.
Al-Baqarah : 197 )
Para mufassir dalam memahami Asyhurun Ma'lumat (bulan-bulan yang dimaklumi) bersepakat, bahwasanya terdiri dari bulan Syawwal, Dzulqa'dah dan separuh pertama Dzulhijjah, lebih tegasnya Miqad Zamani adalah dari tanggal 1 Syawal sampai terbitnya fajar tanggal 10 Dzul-Hijjah. Syeikh Mahmud Syaltut - mantan Syeikh Azhar - dalam buku Al-Islam Aqidah wa Syari'ah mengutarakan,
bahwa di balik pensyari'atan waktu haji ada sebuah hikmah yang tersembunyi, yaitu adanya perjalanan setelah perjalanan ( Rihlah ba'da Rihlah ). Pada akhir puasa Ramadlan, seorang mukmin kembali ke dunianya semula setelah melakuan suatu "perjalanan rohani", namun hatinya tetap bergantungan dengan Tuhan. Maka saat memasuki bulan Syawwal, hatinya segera memulai "perjalanan" selanjutnya. Sebuah perjala-nan di mana badan menyatu dengan jiwa, meninggalkan sanak keluarga, harta dan tanah air untuk berdiri di depan rumah Allah swt. dengan khusyu' seraya memohon pertolongan dan ridlaNya. Hingga akhirnya kembali ke tanah air dalam keadaan tenang dan kokoh, untuk mengajak umat ke jalan yang lurus dan mulus. Sebagai salah satu proses menuju keberhasilan haji, jauh sebelum berangkat hendaknya mempersiapkan diri dengan banyak bertaubat, mengembalikan hak-hak orang lain yang diambilnya dengan cara dzalim dan menyesali atas segala kesalahannya. Seorang mukmin dalam melaksanakan Ibadah Haji harus dapat menjaga lidahnya dari menggunjing sesamanya, mencaci, dan mengeluarkan kata-kata yang dapat menimbulkan birahi, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan (bertengkar) yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat, peliharalah penglihatannya dari pandangan yang diharamkan serta jagalah
segenap anggota badannya dari perbuatan yang dimurkai Allah. Maka akhir ayat di atas menjelaskan, haji juga merupakan jembatan untuk menjadi seorang Ulul Albab sebuah penghargaan Ilahi yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Karena itu seorang yang ingin melaksanakan ibadah tersebut hendaknya membawa bekal terbaik yaitu At-Takwa, agar target dan tujuan haji dapat dicapai dengan sempurna. Bukan sekedar prediket duniawi semata. Begitu pula dalam banyak hadis, Rasulullah Saw. dengan gamblang menerangkan haji dan pahala bagi mereka yang melaksanakannya dengan sempurna, dengan memperkuat dan menjelaskan apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur'an diatas, Rasulullah bersabda:
Artinya :
"Barang siapa mengerjakan haji, dengan tidak berkata senonoh dan tidak berbuat fasik, ia kembali bagaikan pada hari ketika dilahirkan ibunya ( H.R. Bukhari Muslim ) Inilah salah satu cara bentuk pembersihan diri dalam Islam, di mana seorang hamba kembali ke fitrah,sehingga menjadi lebih siap menerima ajaran-ajaran Islam yang lebih segar dan murni. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebiutkan bahwa "haji mabrur" merupakan amal paling mulia di sisi-sisi Allah Swt dan
termasuk salah satu bentuk jihad. Aisyah r.a pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Adakah jihad untuk wanita ?", Rasulullah berkata, "Bagi mereka adalah jihad yang tidak membutuhkan perang, yaitu haji mabrur".
Al-Qur'an dan Sunnah adalah patokan utama dalam melaksanakan syari'at haji secara benar, dan merupakan salah satu usaha untuk membangun kembali peradaban Islam. Semakin matang pemahaman seseorang terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, maka semakin kuat kepercayaannya kepada Islam
2. Haji ke Al-Baitu al-Haram, Mekah ?
Ada beberapa orientalis yang menulis tentang Islam kemudian bertanya-bertanya, kenapa dalam melaksanakan haji umat Islam harus pergi ke Mekah ? Bukankah ini tergolong pemaksaan dan penindasan ? atas realita mereka menilai, bahwa ajaran Islam terlalu rumit untuk diterima dan
dilaksanakan. Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi subyektifitas mereka dalam menilai
Islam. Pertama, karena kurang memahami ajaran Islam yang sebenarnya secara menyeluruh dan utuh. Mereka tidak mengerti bahwa Islam bukan sekedar agama, namun disamping sebagai agama, Islam juga mengaturperilaku keseharian. Kedua, karena mereka ingin menampakkan Islam dalam wajah yang keras, radikal dan puritan. Padahal Islam jauh dari kesan semacam itu. Haji sebagai salah satu tiang agama Islam memiliki landasan kuat, baik dari ayat-ayat tanziliyah maupun kauniyah. Pensyari'atan haji di Mekah, memiliki nilai historis yang akurat sekaligus berfungsi sebagai penyatu visi dan persepsi umat Islam. Dengan perjalanan haji ke Mekah ini, berarti seorang muslim melakukan "penyegaran rohani" guna menata potret pemahamannya terhadap Islam, sehingga menjadi lebih mapan, lebih sempurna, disampig mudah dimengerti oleh semua kalangan, baik di Barat maupun di Timur. Dalam buku "Al-Hajju al-Mabrur Ahkam wa Asrar", Dr. Abdul Halim Mahmud - Mantan Syeikh Azhar - menceritakan sebuah contoh cintanyaRasulullah kepada Mekah. Pada suatu malam di pinggiran Mekah, ketika kembali dari Madinah, Rasulullah berkata: "Sesungguhnya kamu bumi Allah yang paling mulia dan negeri Allah yang paling saya cintai, kalau seandainya saya tidak diusir, niscaya saya tak kan keluar". Mengapa? Sebab melihat Al-Baitu al-Haram adalah ibadah dan pahalanya berlipat ganda.
Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 96, Allah Swt. memberikan cahaya kepada manusia, bahwa rumah yang pertama kali dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Para mufassir memahami Bakkah dengan Mekah. Pada setiap musim haji, umat Islam berdatangan dari pelbagai penjuru dunia bertawaf di sekeliling Al-Baitu al-Haram ini.
Abu Dzar r. a. berkata; " Saya katakan kepada Nabi Muhammad, wahai Rasulullah, apa nama masjid yang pertama kali dibangun?" Rasulullah berkata; "Al-Masjid al-Haram". Saya berkata; "Kemudian masjid apa?" Rasulullah bersabda : "Al-Masjid al-Aqsha", saya berkata; "Berapa tahun jarak antara keduanya?" Rasulullah bersabda; "empat puluh tahun", kemudian sabda beliau selanjutnya; "Ketika tiba waktu shalat, hendaknya kamu melakuakan shalat dan semua bumi telah dijadikan masjid bagimu"
Allah memuji Al-Baitu al-Haram sebagai rumah yang 'mubarak' akan mengalir di dalamnya kebaikan yang berkesinambungan. Yaitu dengan melipatgandakan paha la, mengabulkan do'a serta mengampuni dosa-dosa. Selain itu memujinya
sebagai petunjuk bagi alam dan isinya. Karena ia merupakan kiblat dan tempat beriba dah, sekaligus sebagai alat untuk mengarahkan hati dan pikiran ke jalan yang lurus. Maka tak pelak, barangsiapa yang memasukinya, niscaya akan aman. Begitulah Allah berjanji, Maha Suci Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj, Al-Masjid al-Haram Mekah, merupakan start Rasulullah untuk melakukan Isra' ke Masjid al-Aqsha dan bermi'raj ke Sidratu al-Muntaha. Peristiwa ini termasuk peristiwa besar dalam sejarah Islam, sebab Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu setelah melakukan Isra' dan Mi'raj ini.
Lebih dari itu, Mekah merupakan tempat diturun kannya Al-Qur'an, mu'jizat terbesar, sebagai pencerahan bagi umat manusia, menerangi kejumudan moral dan pikir pada waktu itu. Oleh karena itu dengan menunaikan haji ke Al-Baitu al-Haram, umat Islam akan semakin memiliki wawasan keagamaan lebih luas,
setelah mengetahui langsung kondisi, di mana Islam turun pertama kali. Karena itu, hakekat perjalanan haji adalah untuk mengantarkan pelakunya kearah kesempurnaan ilmu dan imannya.
D. Haji, Ibadah Ritual dan Sosial
Sebagai rukun Islam, haji merupakan salah satu ibadah yang banyak memerlukan persiapan lahir dan batin materiel dan moril. Sebab semakin banyak pahalanya, semakin banyak pula cobaannya. Haji banyak memiliki muatan nilai yang tidak dimiliki ibadah lain. Di mana hubungan horisontal ( manusia denganmanusia ) dan vertikal (manusia dengan Allah) berada sekaligus di dalamnya. Di dalamnya ada yang berbentuk ritual, namun tak sedikit yang berbau sosial. Di mana umat Islam diharapkan mampu menjalin hubungan intim dengan Tuhannya, dan hubungan intim pula dengan sesama makhluk. Munculnya hubungan intim ini benar-benar disiapkan selama ibadah haji berlangsung dalam suasana spiritual, dimana manusia sedang menyatu derngan dirinya di hadapan Allah swt.
Selain itu , haji merupakan salah satu bentuk amal seorang hamba untuk mempertebal iman dan menyempurnakan sendi (rukun) Agamanya. Sebab dengan sendi-sendi ( Arkan ) yang kropos, batin seseorang akan mudah roboh. Dalam konteks ini, umat Islam melihat haji dengan kaca mata lebih bersih, agar kegiatannya dalam menjalankan haji dapat memberikan sumbangsih terhadap maupun sosial.
1. Menangis di Depan Ka'bah
Kalau umat Islam menghadap kiblat (ka'bah) lima kali sehari dari jarak jauh, namun pada musim haji mereka dapat melihat Ka'bah dengan mata kepala secara langsung ketika sedang memasuki Al-Baitu al-Haram dan bertawaf di sekelilingnya, tanpa terasa air mata telah bercucuran. Cucuran air mata saat itu, bukan tanda kesedihan atau kemurungan, seperti yang terjadi dalam hidup sehari-hari, ketika ditimpa musibah misalnya. Banyak orang tidak tahu, apa sebab dan rahasia di balik peristiwa ini? Syeikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi menjawab, bahwa peristiwa ini merupakan sebuah ungkapan wajar, saat seseorang meninggalkan keangkuhan dan kesombongan, yang selama ini menyelimuti kehidupannya. Keadaan semacam ini kian menumbuhkan perasaan tunduk seseorang kepada Sang Pencipta, dan kehadirannya di depan Ka'bah
hanya untuk menyampai kan penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan, dengan harapan kiranya Allah mengampuni dosa-dosanya lalu dan yang akan datang. Ini pandangan masa depan.
Perasaan dekat dengan Allah setiap saat, niscaya akan menjadikan tangis sebuah dinamo untuk melahirkan kebahagiaan dan kemerdekaan dari lumuran dosa. Dengan taubat yang tulus, seorang hamba enggan untuk kembali pada kejahatan. Lebih dari itu, tangis seorang hamba di depan Ka'bah merupakan barometer kuatnya iman yang mendorongnya untuk meninggalkan hal- hal yang dapat meracuni akidah dan akhlaknya. Sesungguh nya menanggalkan radsa keangkuhan adalah kekuatan, seperti halnya memohon rahmat dan ampunan adalah kekuatan pula. Apabila dua kekuatan tersebut menyatu, keyakinan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi lara ngan menjadi semakin kokoh.
Setiap orang yang mengalami peristiwa peristiwa tersebut, hatinya akan terasa lega, seakan- akan dicuci oleh air mata yang mengalir dari kedua matanya. Satu hal yang mengherankan, menurut Syeikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, setelah air mata mulai mengering, seseorang menginginkan kembali untuk menangis. Nah, di sini kemauan untuk mendatangi Ka'bah yang kedua dan
ketiga kalinya semakin muncul. Namun cucuran air mata yang pertama lebih deras dan membakar jiwa,yang kedua semakin mengurang dan selanjutnya. Kenapa ? Yang jelas, tangisan pertama kali telah menambah kesucian dan keseimbangan hati seseorang dalam menjalani kehidupan. Ketika hati diisi denga hal-hal
yang bukan untuk menyebut nama Allah, maka tak kan ada bidang yang cukup untuk mengingat-Nya. Rasulullah bersabda : Sesungguhnya Allah menurunkan pada Ka'bah seratus duapuluh rahmat, enampuluh bagi mereka yang melaksanakan tawaf, empat puluh bagi mereka yang shalat dan dua puluh bagi mereka yang melihat.
Ketika pertama kali seseorang berada di depan Al-Baitu al-Haram, tiada pilihan baginya kecuali untuk melakukan tawaf sebanyak tujuh kali putaran. Tawaf ini dikenal dengan Tawaf Qudum (bagi haji Ifrad dan Qiron, sedangkan bagi haji tamattu' adalah Thawaf umroh), dimulai dari Hajar Aswad, batu biasa yang diletakkan nabi Ibrahim sebagai tanda untuk memulai tawaf, sehingga seseorang tidak merasa bimbang jika mau memulai dan mengakhiri thawaf. Dalam konteks ini, para orientalis menyerang Islam, bahwa mencium Hajar Aswad termasuk tradisi jahiliyah, karena di dalamnya memuat nilai-nilai berhala yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Barangkali untuk memperjelas masalah ini, Umar bin Khattab dalam sebuah ungkapannya berkata :
Artinya :
Sesungguhnya sanya tahu, bahwa kamu adalah batu tidak memberi mudharat dan tidak pula memberi manfaat, dan kalaulah tidak karena saya melihat Rasulullah menciummu, niscaya saya tidak menciummu.
Menurut Al-Thabari, perkataan Umar di atas hanya sebagai kilas balik ( raddu fi'lin ) terhadap sebagianmanusia yang mengutarakan, bahwa mencium hajar aswad termasuk penghormatan pada batu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahilyiah. Sang khalifah hanya ingin mengajarkan, bahwa hal
tersebut hanya sekedar mengikuti sunnah Rasulullah, karena batu tidak berbahaya dan tidak pula bermanfaat. Sekarang, yang menjadi ruh ibadah haji yaitu niat dan maksud untuk mengingat asal-usul Islam dan tradisi nabi Ibrahim yang telahdihilangkan oleh tradisi-tradisi jahiliyah. Maka tak dapat dipungkiri, bahwa kehendak untuk menunaikan haji, mencium hajar aswad dan melihat Ka'bah dengan mata kepala sendiri, adalah keinginan setiap pribadi umat Islam.
2. Wukuf di Arafah, Refleksi Padang Makhsyar
Arafah adalah Bukit yang terbentang 12 mil dari Mekkah.Di Arafah ini ada sebuah gunung yang dikenal dengan Jabal Rahmah. Kenapa diberi nama Arafah ? Dr. Abd. Halim Mahmud memberi kan tiga alasan. Pertama, pertemuan nabi Adam dan Hawwa pertama kali di tempat ini, setelah proses saling mencari. Kedua, ketika malaikat Jibril mengajarkan manasik haji kepada nabi Ibrahim a.s., kemudian berkata, "A'arafta" ( apakah kamu tahu ), Ibrahim a.s. menjawab, "'Araftu"( Saya sudah tahu ). Ketiga, karena Arafah itu mulia dan suci, diketahui oleh manusia. Mereka tahu kepada Allah sembari berdo'a dan beribadah,dan sesungguhnya Allah adalah sumber seluruh kebaikan, nikmat dan kesempurnaan manusia.
Pada hari Tarwiyah ( tanggal 8 Dzulhijjah ) para jama'ah haji keluar berbondong-bondong menuju Arafah melalui Mina sebelum terbenamnya matahari, sedangkan para jama'ah haji harus sampai ke Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah sebelum matahari terbenam, afdholnya adalah bersama dengan masuknya waktu
shalat. Menurut para ulama, wukuf di Arafah merupakan manasik haji yang terpenting, sehingga Rasulullah bersabda : "Haji adalah Arafah". Barang siapa meninggalkan rukun ini, hajinya dianggap batal dan baginya harus mengulangi pada tahun-tahun mendatang.
Sebagai salah satu rukun haji yang paling utama, hari Arafah memiliki keutamaan luar biasa. Dari Aisyah r.a, Rasulullah bersabda, Tiada hari yang lebih utama, di mana Allah memerdekakan seorang hamba dari neraka, daripada hari Arafah. Pada hari ini, mereka menghadap Allah untuk mengharap limpahan rahmat-Nya, sehingga dapat dikatakan, bahwa buah ibadah haji dipetik dari wukuf di Arafah. Di sini, jiwanya menjadi bersih bersih dengan taubat, ihram, tawaf dan sa'ie serta menghadap kepada Allah dalam keadaan khusyu'.
Allah berfirman :
Artinya :
Maka apabila kamu bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'ari al-Haram ( Q. S. Al-Baqarah : 198 ). Dalam melaksanakan wukuf di Arafah yang penting, bukanlah bagaimana agar
seseorang dapat mendaki Jabal Arafah untuk duduk di puncaknya, ini sekali-kali tidak disunatkan. Justru akan menimbulkan bahaya. Namun bagaiamana seseorang mampu merenungi nilai agama yang terkandung dalam rukun haji ini. Mengingat kembali; pertemuan manusia pertama yang diciptakan - Adam dan hawa-, ketika mereka dikeluarkan dari surga untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Menurut Moh. Rasyid Ridla dalam "Manasik al-Hajj Ahkamuhu wa Hikamuhu", wukuf di Arafah adalah waktu yang paling utama untuk berdo'a, memohon rahmat dan berzikir. Nabi Muhammad tidak menetukan do'a tertentu untuk di Arafah ini agar masing-masing berijtihad sesuai dengan pengetahuan dan
kebutuhannya.
Di bukit yang membentang luas ini, seorang hamba diantarkan untuk membayangkan dan merenungi peristiwa yang bakal terjadi pada hari kiamat , yaitu hari dikumpulkannya kembali makhluk Allah di "Padang Makhsyar", yang merupakan terminal terakhir untuk menghitung amal baik dan buruk yang telah dikerjakan, selama di dunia. Di hadapan Allah seluruh manusia adalah sama, baik konglemerat maupun fakir miskin, semuanya akan menghadap kepada Yang Maha Esa, Allah Swt.
3. Jumrah Aqabah,
Melawan Bisikan Setan Haji merupakan salah satu proses pembentukan insan kamil, yang mampu melawan bisikan setan. Sebab dalam setiap gerak kehidupan, orang tak lepas dari godaan setan. Banyak contoh
yang menjelaskan tentang betapa gigihnya godaan makhluk ini. Diantaranya adalah godaan terhdap manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, dan juga terhadap Nabi Ibrahim saat menjalani perintah Allah, yang kemudian beliau berusaha menghardiknya dengan cara melempari makhluk jahat tersebut. Untuk
itu, melempar jumrah yang dikenal dengan Jumrah Aqabah, juga merupakan salah satu protret perlawanan terhadap setan.
Jumrah Aqabah dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, di mana umat Islam di ujung Barat dan Timur melaksanakan perayaan Idul Adha. Melempar Jumrah ( batu kecil ) pada hari ini memiliki sejarah yang cukup menarik untuk diketahui, terutama perintah penyembe-lihan Ismail, putra Nabi Ibrahim yang sangat disayanginya dari siti Hajar. Tak jarang setan mengganggu Ismail dan Ibunya, supaya mengurungkan perintah suci itu. Namun setan tak mempan lagi untuk menghalang-halangi, sehingga dilemparinya (rajam) dengan batu sebanyak tujuh kali. Oleh karena itu, dalam praktek pelemparan Jumrah Aqabah
dilakukan dengan mengucapkan kalimat Allahu Akbar, guna memantapkan ruh
tauhid dan ketakwaan dalam jiwa pelakunya.
Kenapa dalam melawan setan harus dengan batu ? Kenapa harus melempar kepada batu, apakah setan ada di dalamnya ? Sebenarnya rukun haji yang satu ini hanya menghidupkan kembali cara nabi Ibrahim ketika mendepak setan yang berusaha menghala-halangi niatnya untuk melaksanakan perintah Allah swt.
Tentang munculnya setan kehadapan para nabi, Moh. Rasyid Ridla mengutarakan, bahwa hal semacam itu tidak asing bagi mereka. Dalam kitab Injil terdapat bukti, bahwa setan sering mencoba dan menggangu Nabi Isa a.s. Sedangkan batu sebagai alat untuk mengusir setan, hanya lambang yang serta merta mengikuti kebiasaan Ibrahim a.s. Orang-orang Kristen juga melempar pohon tin dengan batu, karena menurut mereka, pohon tin dilaknat oleh Isa al-Masih. Namun dalam Islam, cara tersebut hanya sebagai isyarat agar orang
selalu melangkah untuk meninggalkan kecendrungan- kecendrungan berbuat jahat. Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin mengatakan, bahwa maksud dari melempar batu kecil bertujuan untuk patuh terhadap perintah, pengejawantahan ibadah dan perlawanan terhadap sikap yang mendukung hawa nafsu dan
mengganggu tumbuhnya akal sehat. Selanjutnya, sambil melempar batu kecil di Aqabah, hendaknya disertai niat untuk selalu melawan bisikan setan yang sangat membahayakan. Karenanya, dengan Jumrah Aqabah, kita berharap agar umat Islam senan-tiasa mampu membaca rahasia-rahasia dibalik setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Apakah tiap muslim sudah memiliki missi dalam aktivitas kesehariannya? missinya baik atau tidak ? dan missinya bermanfaat atau tidak ? Ini sebuah pelajaran yang harus diingat.
4. Memupuk Solidaritas Sosial Antar Sesama Makhluk
Kalau orang-orang sekarang sedang memperbin-cangkan Hak-Hak Asasi manusia, sesungguhnya Islam lebih dari itu, dimana Islam juga memperbincangkan hak-hak asasi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Melalui ibadah haji, umat Islam secara langsung diajarkan agar memiliki sikap tenggang rasa antar sesama makhluk. Di tengah-tengah keteguhan hati menghadap Tuhan, mereka tak boleh memotong pepohonan, memburu hewan dan tidak boleh bertikai atau berperang mulut. Allah berfirman :
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, sedang kamu dalam keadaan berihram. Barang siapa membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah bersedekah dengan binatang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya..........( Q.S. Al-Maidah : 95 )
Di tengah perjalanan ( rihlah ) yang penuh berakah ini, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji terhadap sesama makhluk, hatta pada benda-benda mati. Seakan-akan Allah Swt., mengisyarat kan kepada jama'ah haji untuk melihat dan memikirkan segala perintahNya sehingga dapat
membuka rahasia-rahasia yang berada di balik itu. Lebih dari itu, supaya mereka memupuk sikap positif dan bijak,. bahwa manusia sejak diciptakan sudah dididik untuk mewujudkan solidaritas sosial terhadap siapapun.
Antar sesama manusia, ketika melaksanakan haji banyak pelajaran yang mengarah pada pembentukan persamaan derajat. Apabila seseorang di tempat tinggal nya menjadi tokoh masyarakat, pedagang kaki lima, petualang laut, dan lain-lain, namun di musim haji mereka sama. Persamaan yang semacam ini akan lebih menciptakan suasana harmonis dan dinamis. Sesungguh nya Tuhan tidak akan melihat pada wajah seorang hamba, namun melihat kepada hatinya. Hati merupakan standar derajat manusia antara satu dan yang lain. Suasana haji menciptakan keakraban yang lebih dekat dan lebih membahana di relung hati yang paling dalam.
Sekarang, semua orang merasakan adanya kemiskinan yang menimpa umat, ketidakadilan dan ketimpangan. Maka dengan memahami nilai-nilai sosial dalam ibadah haji dengan mendalam, sekaligus mengembangkan pesan-pesan penting perlunya solidaritas antar umat, baik individu maupun kelompok, Insya Allah permasalahan tadi akan cepat terpecahkan.
F. Berziarah ke Makam Rasulullah
Setiap orang yang melaksanakan haji akan terbetik di hatinya untuk berziarah ke makam Rasulullah. Sebab secara pribadi hajinya tidak akan sempurna, kecuali setelah berzirah ke makam top figur, yang telah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang- menderang. Al-Hafidh Ibnu Hajar
berkata, "Ziarah ke makam Rasulullah Saw tergolong perbuatan yang mulia, dan hal ini sudah menjadi ijma' ulama".
Bahkan ada yang mengatakan, bahwa menunaikan haji, tanpa berziarah ke makam Rasulullah, bagaikan tidak menunaikan haji. Ini merupakan apresiasi perasaan cinta yang timbul dari sanubari umat kepada panutannya, Rasulullah saw. Logikanya, di dunia ini tak ada orang yang tak cinta padanya. Dalam surat Ali Imran ayat 31, Allah berfirman : Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilan aku, niscaya Allah akan mencintai kamu sekalian.
Di samping iman seorang muslim akan diuji agar cintanya kepada Rasulullah melebihi cintanya pada dirinya, keluarga dan sesamanya. Dalam salah satu hadits Rasulullah bersabda :
Artinya:
"Barang siapa yang shalat di mesjidku (Mesjid Nabawi) sebanyak 40 kali shalat, dimana orang itu pernah tertinggal satu shalatpun, maka ia ditulis (oleh Allah, sebagai orang yang) bebas dari neraka, bebas dari siksa dan bebas dari munafiq. (HR. ) Dalam hadits yang lain kita temukan pula :
Artinya :
"Satu kali shalat di Mesjid (Nabawi) ini, lebih utama dari seribu kali shalat di tempat-tempat yang lain terkecuali Mesjid Al-Haram, dan satu kali shalat di Mesjid Al-Haram adalah lebih utama dari seratus ribu kali shalat di tempat-tempat lain. (HR.Ahmad dan Ibnu Majah)
Apakah berziarah ke makam Rasulullah termasuk rukun haji ? Sekali-kali tidak, namun hanya sebagai etika Islam, sekaligus sebagai sumber untuk menumbuhkan getaran spritual dalam diri seseorang. Oleh karena itu, adanya makam Rasulullah di Madinah merupakan sebuah tanda supaya ziarah kepadanya memiliki nilai keistimewaan sendiri, sekaligus untuk menunaikan shalat di Masjid Nabawi untuk meraih pahala yang berlipat ganda.
Apakah berzirah ke makam Rasulullah termasuk bid'ah ? Syeikhul Islam Ibnu Taymiah dalam Manasik al-Hajj menjelaskan, bahwa dalam ziarah kubur ada dua aspek yang harus diperhatikan. Pertama, ziarah yang disyari'atkan. Ziarah ini dimaksudkan untuk mengucap kan salam pada ahli kubur dan mendo'akannya.
Berziarah di sini sama halnya dengan menshalatinya. Sebagaimana Rasulullah menyuruh para sahabat, apabila berziarah ke sebuah makam hendaknya mengucapkan:
Artinya :
Salam bagimu sekalian, wahai ahli kubur, dari orang-orang muslim dan mukmin. Sesunguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah berilah rahmat bagi mereka yang telah mendahului kami dan yang akan menyusul. Kami memohon ampunan-Mu ya Allah. Ya Allah janganlah Engkau halangi kami dari pahala
mereka, dan janganlah Engkau turunkan fitnah kepada kami setelah mereka, ampunilah kami dan mereka.
Kedua, Ziarah bid'ah, ini terjadi apabila ziarah dibarengi dengan maksud untuk meminta kepentingan kepentingan dari ahli kubur, atau untuk berdo'a tertentu yang harus dilakukan di makam tertentu saja. Ini sekali-kali bukan sunnah nabi dan tidak dianggap sunnah oleh para ulama.
Maka, ketika berziarah ke makam Rasulullah hendak nya seseorang mensucikan kembali niatnya. Bahwa ziarah yang disyari'atkan adalah untuk mengucapkan salam dan mendo'akannya. Sungguh saat ziarah ke makam Rasul dengan cara seperti itu, akan menumbuhkan semangat keislaman yang tinggi. Karena
merupakan suatu pertemuan antara seoarang mukmin dengan sang kekasihnya, yaitu Rasulullah saw.
G. Haji Muktamar Tahunan Umat Islam
Secara tidak langsung, perintah haji memiliki nilai-nilai organisasi yang lentur. Kalau di mana- mana ada muktamar, dalam Islam haji merupakan mutamar tahunan umat Islam yang terbesar. Karena dihadiri hampir oleh seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia. Pada saat ini hadir para pakar politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain turut serta berkumpul di Batu al-Haram. Menurut Syekh Muhammad Syaltut b dalam Islam Aqidah wa Syari'ah, bahwa haji adalah muktamar ilahi yang paling mulia. Tidak logis,
kalau pertemuan akbar ini hanya dimanfaatkan sekedar untuk tawaf, sa'i, wukuf di Arafah dan lainnya. Sesungguhnya hikmah di balik itu, umat Islam dapat berkumpul di waktu dan tempat yang sama untuk membahas kepentingan-kepentingan umat ( manafi' ) dan mengatasi problema-problema yang melekat dalam hati dan akal umat ini. lebih dari itu, peristiwa tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyusun program bersama umat , tingkat daerah, Nasional, Regional bahkan tingkat Internasional Dunai Islam dalam rangka menghilangkan tekanan yang dirasakaan oleh mayoritas umat Islam, dalam bentuk kebodohan, kemiskinan dan pemerasan.

Di sini, haji memiliki sebuah nilai luar biasa, dengan memperkokoh hubungan dengan Allah Swt, masalah-masalah sosialpun dapat diselesaikan. Rasulullah bersabda: Wahai manusia, seungguhnya orang-orang mukmin bersaudara, tidak dihalalkan bagi seseorang harta saudaranya, kecuali dengan cara yang baik, janganlah kalian kembali menjadi kafir setelahku dan janganlah sebagian kalian memukul budak sebagian yang lain, sesungguhnya saya meninggalkan
bagimu sekalian sesuatu yang apabila kalian laksanakan, niscaya tidak akan sesat setelahku.......yaitu Kitabullah. Dengan demikian, hubungan kokoh dengan Allah akan meluruskan perbuatan-pebuatan yang memiliki muatan hawa nafsu, seperti fanatisme suku ataupun golongan. Sehingga seorang hamba dapat mensucikan akidahnya dari perbuatan syirik dan kemudian menumbuhkan gairah, untuk bekerja lebih optimal dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam, agar Islam benar-benar menjadi sebuah solusi dan alternatif penyelesaian problema umat manusia. Dengan semangat seperti ini jika ditempuh langkah-langkah kongkrit, maka ibadah Haji dapat berfungsi memberikan peluang untuk menabur benih persa tuan umat.
H. Penutup
Selama bumi ini belum hancur, haji senantiasa dilaksanakan oleh umat Islam. Karenanya satu hal yang paling mendasar, bagaimana dari rukun Islam yang terakhir ini, umat Islam mampu membaca permasalah-permasalahan kekinian. Terutama untuk ikut urun rembug dalam mencari jalan keluar yang terbaik.
Di dalam haji, antara kekuatan batin dan lahir menyatu, di mana seorang hamba dapat melakukan mi'raj rohani dan memberikan perhatian sosial yang tajam. Maka lewat tulisan yang singkat ini, penulis berharap kiranya menjadi tambahan bekal para jemaah haji untuk mencapai predikat takwa yang sebenarnya.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terutama pada teman-teman di Kelompok Kajian al-Mustanîr TAYSîR yang telah banyak membantu penulis dalam melahirkan aspirasi- aspirasi, wadah untuk mengembangkan
kreatifi tas.
Tentunya dalam tulisan ini banyak terdapat kekura ngan, oleh karena itu adanya koreksi yang membangun merupakan sebuah kebutuhan, sehingga tulisan ini menja di sempurna.Wallahu almuwaffiq ila aqwami al-thariq.